Friday, 11 December 2015

Perjalanan Imam Syafi’i Menuntut Ilmu


Pernahkah merasa sebal dengan tugas yang begitu banyak, buku yang tertumpuk untuk dibaca, ditambah ujian yang sudah di depan mata? Rasanya ingin mengeluh tiada henti. Bahkan, sering kita mengutuk guru yang memberikan kita banyak tugas.
Belajar kemudian menjadi hal yang membosankan dan kemudian dihindari. Bukan lagi menjadi sesuatu yang asyik dan kita butuhkan. Sepanjang belajar, kita lebih sibuk mengomel. Akankah ilmu yang kita pelajari tertanam di hati?
Jika pernah merasa lelah belajar, simaklah nasehat emas dari Imam Syafi’i, Jika kamu tidak kuat menanggung lelahnya belajar, maka kamu akan menanggung perihnya kebodohan. Kata-kata ini bisa menambah semangatmu untuk terus belajar ketika sedang merasa bosan dengan tugas-tugas di sekolah.
Lantas, bagaimana kisah perjalanan Imam Syafi’i dalam menuntut ilmu?
Imam Syafi’i berkeliling dari satu daerah ke daerah lainnya. Berpindah dari satu kota ke kota lainnya, belajar dari bnayak guru. Sehingga, dengan ilmu-ilmu yang ia peajari ditambah sikap dan sifat kerendahan diri beliau, ia  menjadi seorang imam madzhab besar yang banyak dianut di negara-negara Asia Tenggara, khususnya Indonesia.
Sebelum Imam Syafi’i melakukan perjalanan untuk menuntut ilmu kepada Imam Malik, ia melalkukan persiapan terlebih dahulu dengan menghafal Kitab al-Muwaththa.
Imam Syafi’i mengisahkan kisah perginya kepada Imam Malik:
Aku keluar dari Mekkah, kemudian tinggal bersama suku Hudzail di pedalaman. Di sana aku mempelajari bahasa mereka. Suku Hudzail ini adalah bangsa arab yang paling fasih.
Ketika aku kembali ke Mekkah, aku mulai mendendangkan syair dan menyebutkan sejarah orang-orang dulu. Kemudian, seorang dari kaum Zuhriy berkata kepadaku: : “Wahai Abu Abdillah (sebutan Imam Syafi’i), sungguh aku rasa berat kefasihanmu dan balaghahmu ini tidak diletakkan dalam ilmu dan fiqih.” Maka aku bertanya: “Siapakah orang yang nisa menjadi tujuan (untuk hal itu)?” Dia menjawab: “Malik bin Anas, sayyid kaum muslimin.”
Hal itu menancap di dalam hatiku. Kemudian, aku meminjam kitab al-Muwaththa’ dari seseorang di Mekkah dan aku menghafalnya. Aku juga menemui Gubernur Mekkah dan meminta surat rekomendasinya yang ditujukan kepada Gubernur Madinah dan Malik bin Anas.
Singkat cerita, aku bersama Gubernur Madinnah mendatangi rumah Imam Malik. Ketika Imam Malik keluar, Gubernur Madinah menyerahkan surat kepadanya. Imam Malik melempar surat ini dari tangannya dan berkata: “Ya Subhanallah! Ilmu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sekarang diambil dengan wasilah.”
Kemudian aku maju kepada Imam Malik dan berkata: “Semoga Allah memperbaiki keadaanmu. Aku ini seorang turunan Mutththalib dengan keadaan dan kisahku.” Ketika Imam Malik mendengar ucapanku, dia melihatku sesaat, ia berkata: “Bertakwalah kepada Allah dan jauhilah kemaksiatan. Sungguh engkau nanti akan mempunyai urusan yang besar.” Aku menjawab: ‘Ya. Dengan penuh pemuliaan.”
Kemudian Imam Malik berkata: “Besok engkau datang dan akan ada orang yang membacakan al-Muwaththa’ kepadamu.” Aku menjawab bahwa telah menghafalnya di luar kepala.
Keesokan paginya, aku datang kepada Imam Malik dan mulai membacakan al-Muwaththa’ kepadanya. Setiap aku merasa segan kepada Imam Malik dan ingin memutusnya, dia merasa kagum dengan bacaanku dan i’rabku, dia berkata: ‘Hai, pemuda, teruslah! Agar engkau bisa menyelesaikan bacaannya dalam beberapa hari.’" Imam Syafi’i terus belajar hingga dirinya menjadi Imam Besar.
Mari kita renungkan. Apakah dalam bayangan kita, masa muda Imam Syafi’i hanya berdiam diri di rumah merenungkan nasibnya sebagai seorang yatim? Apabila semasa hidup beliau, ia hanya duduk nongkrong bersama teman teman sebayanya, apakah ia akan menjadi  imam besar?  Apabila Imam Syafi’i semasa mudanya hanya memainkan gadget serta  media sosial akankah terlahir seorang imam besar yang namanya selalu kita kenang dan ilmunya selalu kita cari untuk kita jadikan rujukan dalam beragama?
Tentu jawaban dari semua jawaban di atas ada pada diri kita masing-masing, sebagai seorang remaja  yang jelas berbeda zaman. Rintangan serta hambatan dalam masa muda, Iamm Syafi’i tetap bergerak dalam mencari ilmu. Karena, orang yang berilmu dan beradab tidak akan pernah berdiam diri untuk beristirahat di kampung halaman. Mereka akan meninggalkan negerinya untuk hidup di negeri orang asing.
Air menjadi rusak karena diam tertahan adapun jika mengalir air tersebut akan menjadi jernih dan jika tidak mengalir akan menjadi keruh. Begitupun dengan kita sekarang,  sebagai seorang pemuda yanga akan menajdi nasib perubahan seorang bangsa dan peradaban. (Shidiq)


Referensi:
·         Hasyiyah ‘ala Al Qoul Al Mukhtar fii Syarh Ghoyatil Ikhtishor, Sa’aduddin bin Muhammad Al Kubiy, terbitan Maktabah Al Ma’arif Riyadh, cetakan pertama, 1432 H.
·         Al-Manaqib karya al-Baihaqi 1/102-103,
·         karya ar-Razi 9-10, dan ringkasannya di al-Hilyah 9/69, serta Tawali at-Ta’sis 53-56
·         Siyar A'laam An-Nubalaa 10/5-6
·         Tobaqoot Asy-Syaafi'iyah Al-Kubro 2/71-72)


No comments:

Post a Comment