Pernahkah merasa sebal dengan
tugas yang begitu banyak, buku yang tertumpuk untuk dibaca, ditambah ujian yang
sudah di depan mata? Rasanya ingin mengeluh tiada henti. Bahkan, sering kita
mengutuk guru yang memberikan kita banyak tugas.
Belajar kemudian menjadi hal
yang membosankan dan kemudian dihindari. Bukan lagi menjadi sesuatu yang asyik
dan kita butuhkan. Sepanjang belajar, kita lebih sibuk mengomel. Akankah ilmu
yang kita pelajari tertanam di hati?
Jika pernah merasa lelah
belajar, simaklah nasehat emas dari Imam Syafi’i, Jika kamu tidak kuat
menanggung lelahnya belajar, maka kamu akan menanggung perihnya kebodohan.
Kata-kata ini bisa menambah semangatmu untuk terus belajar ketika sedang merasa
bosan dengan tugas-tugas di sekolah.
Lantas, bagaimana kisah
perjalanan Imam Syafi’i dalam menuntut ilmu?
Imam Syafi’i berkeliling dari
satu daerah ke daerah lainnya. Berpindah dari satu kota ke kota lainnya,
belajar dari bnayak guru. Sehingga, dengan ilmu-ilmu yang ia peajari ditambah
sikap dan sifat kerendahan diri beliau, ia menjadi seorang imam madzhab besar yang banyak
dianut di negara-negara Asia Tenggara, khususnya Indonesia.
Sebelum Imam Syafi’i
melakukan perjalanan untuk menuntut ilmu kepada Imam Malik, ia melalkukan
persiapan terlebih dahulu dengan menghafal Kitab al-Muwaththa.
Imam Syafi’i mengisahkan
kisah perginya kepada Imam Malik:
Aku keluar dari Mekkah,
kemudian tinggal bersama suku Hudzail di pedalaman. Di sana aku mempelajari
bahasa mereka. Suku Hudzail ini adalah bangsa arab yang paling fasih.
Ketika aku kembali ke Mekkah,
aku mulai mendendangkan syair dan menyebutkan sejarah orang-orang dulu.
Kemudian, seorang dari kaum Zuhriy berkata kepadaku: : “Wahai Abu Abdillah
(sebutan Imam Syafi’i), sungguh aku rasa berat kefasihanmu dan balaghahmu ini
tidak diletakkan dalam ilmu dan fiqih.” Maka aku bertanya: “Siapakah orang yang
nisa menjadi tujuan (untuk hal itu)?” Dia menjawab: “Malik bin Anas, sayyid
kaum muslimin.”
Hal itu menancap di dalam
hatiku. Kemudian, aku meminjam kitab al-Muwaththa’ dari seseorang di Mekkah dan
aku menghafalnya. Aku juga menemui Gubernur Mekkah dan meminta surat
rekomendasinya yang ditujukan kepada Gubernur Madinah dan Malik bin Anas.
Singkat cerita, aku bersama
Gubernur Madinnah mendatangi rumah Imam Malik. Ketika Imam Malik keluar, Gubernur
Madinah menyerahkan surat kepadanya. Imam Malik melempar surat ini dari
tangannya dan berkata: “Ya Subhanallah! Ilmu Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam sekarang diambil dengan wasilah.”
Kemudian aku maju kepada Imam
Malik dan berkata: “Semoga Allah memperbaiki keadaanmu. Aku ini seorang turunan
Mutththalib dengan keadaan dan kisahku.” Ketika Imam Malik mendengar ucapanku,
dia melihatku sesaat, ia berkata: “Bertakwalah kepada Allah dan jauhilah
kemaksiatan. Sungguh engkau nanti akan mempunyai urusan yang besar.” Aku
menjawab: ‘Ya. Dengan penuh pemuliaan.”
Kemudian Imam Malik berkata:
“Besok engkau datang dan akan ada orang yang membacakan al-Muwaththa’
kepadamu.” Aku menjawab bahwa telah menghafalnya di luar kepala.
Keesokan paginya, aku datang
kepada Imam Malik dan mulai membacakan al-Muwaththa’ kepadanya. Setiap aku
merasa segan kepada Imam Malik dan ingin memutusnya, dia merasa kagum dengan
bacaanku dan i’rabku, dia berkata: ‘Hai, pemuda, teruslah! Agar engkau bisa
menyelesaikan bacaannya dalam beberapa hari.’" Imam Syafi’i terus belajar
hingga dirinya menjadi Imam Besar.
Mari kita renungkan. Apakah
dalam bayangan kita, masa muda Imam Syafi’i hanya berdiam diri di rumah
merenungkan nasibnya sebagai seorang yatim? Apabila semasa hidup beliau, ia
hanya duduk nongkrong bersama teman teman sebayanya, apakah ia akan
menjadi imam besar? Apabila Imam Syafi’i semasa mudanya hanya
memainkan gadget serta media
sosial akankah terlahir seorang imam besar yang namanya selalu kita kenang dan
ilmunya selalu kita cari untuk kita jadikan rujukan dalam beragama?
Tentu jawaban dari semua
jawaban di atas ada pada diri kita masing-masing, sebagai seorang remaja yang jelas berbeda zaman. Rintangan serta
hambatan dalam masa muda, Iamm Syafi’i tetap bergerak dalam mencari ilmu. Karena,
orang yang berilmu dan beradab tidak akan pernah berdiam diri untuk beristirahat
di kampung halaman. Mereka akan meninggalkan negerinya untuk hidup di negeri
orang asing.
Air menjadi rusak karena diam
tertahan adapun jika mengalir air tersebut akan menjadi jernih dan jika tidak
mengalir akan menjadi keruh. Begitupun dengan kita sekarang, sebagai seorang pemuda yanga akan menajdi
nasib perubahan seorang bangsa dan peradaban. (Shidiq)
Referensi:
·
Hasyiyah ‘ala Al Qoul Al
Mukhtar fii Syarh Ghoyatil Ikhtishor, Sa’aduddin bin Muhammad Al Kubiy,
terbitan Maktabah Al Ma’arif Riyadh, cetakan pertama, 1432 H.
·
Al-Manaqib karya al-Baihaqi
1/102-103,
·
karya ar-Razi 9-10, dan
ringkasannya di al-Hilyah 9/69, serta Tawali at-Ta’sis 53-56
·
Siyar A'laam An-Nubalaa 10/5-6
·
Tobaqoot Asy-Syaafi'iyah
Al-Kubro 2/71-72)