Saturday, 18 January 2014
Julaibib, Sang Perindu Surga (Part I)
Oleh: Rizki Utama
Dialah Julaibib..
Lusuh miskin, kurus hitam, tak berhata dan tidak dikenal. Dia tidur beralaskan bumi beratapkan langit, rumahnya adalah serambi masjid nabi, makan tidak pasti, jika ada sisa potongan-potongan roti, jika tidak dia pun berpuasa.
Suatu ketika Rasulullah -Shollahu alaihi Wasallam- masuk ke dalam masjid, mendatangi sekumpulan sahabat dan bertanya, "Siapa orang itu?" menunjuk seorang yang menyendiri di sudut masjid. Tidak banyak yg mengenalnya, seorang berkata, "Dia adalah Julaibib wahai Rasulullah.."
Ya, dialah Julaibib.. Siapa yang ingin mengenal orang sepertinya?
Datang Rasul menyapanya, dan bertanya, "Wahai Julaibib, mau kah kamu menikah?" Dia tidak menjawb apapun selain, "Wahai Rasulullah, siapa yang sudi menikah dengan Julaibib, miskin tak dikenal?"
Keesokan harinya Rasul kembali mendatanginya, dan bertanya, "Wahai Julaibib, tidak kah engkau hendak menikah?" Dengan jawaban yang sama, "Wahai Rasulullah, siapa yang sudi menikah dengan Julaibib, miskin tak dikenal?"
Di hari ketiga Rasulullah bertanya lagi dan mendapat jawaban yang sama, "Bukan kah sudah saya katakan wahai Rasulullah, siapa wanita di dunia ini yang sudih menikah dengan seorang Julaibib, yang miskin tak dikenal? Kemudian, Rasulullah memerintahkannya untuk mendatangi salah seorang bapak, "Datangilah rumah Fulan bin fulan, bilang ke dia bahwa Rasul memerintahkannya untuk menikahkan anak putrinya dengan mu."
Oleh karena kepatuhannya kepada Rasulullah, Julaibib pun berangkat. "Rasul menyampaikan salam untuk kalian, dan dia memerintahkan anda untuk menikahkan anak putri anda dengan saya," terang Julaibib kepada si Bapak.
Kaget si Ibu bertanya, "Hah, bagaimana bisa? kamu hendak menikah dengan putri ku yang cantik itu?" Si bapak mengiyakan, bagaimana bisa putrinya yg cantik itu menikah dengan pemuda miskin, lusuh, sepertinya? Namun, di tengah penolakan itu, terdengar suara dari balik kamar sang wanita, "bagaimana ini bisa terjadi? apa kalian hendak menolak pinangan seorang utusan Rasulullah? Demi Allah! Saya terima tunangannya dan saya ridho sebagai istrinya!"
Kepatuhan luar biasa dari seorang wanita, wanita tercantik dari kalangan kaum anshor, seorang wanita yang terdidik di bawah risalah nubuwah, wanita al-qur'an dan as-sunnah, wanita qiyamul laili, bukan wanita televisi, yang memarken aurat kepada siapa saja, melanggar dan menerobos aturan Allah. Dialah wanita sholehah.
Malam pertama pun tiba, malam memadu kasih dan cinta, di dalam belai kemesraan, si wanita berhias secantik-cantiknya membuat Julaibib terpanah, terhipnotis. Namun, tiba-tiba terdengar teriakan keras seorang penyeru dari luar rumah, "Wahai kuda-kuda Allah, bergegeaslah! Wahai kuda-kuda Allah, bergegeaslah! Wahai kuda-kuda Allah, bergegeaslah!"
Sebuah panggilan jihad, yang membuat Julaibib sang pengantin muda itu lompat dari pelukan istri cantiknya, melesat bagai anak dari tali dan busurnya, memakai baju besi menghunus pedang, bersatu dengan barisan kaum muslimin.
Bersambung..
Tuesday, 14 January 2014
Hari Terbaik dan Waktu Mustajab
Segala
puji bagi Allah Subhanahu wa Ta`ala yang telah memberikan kepada kita nikmat
iman dan nikmat islam. Dengan nikmatnya kita bisa belajar dan mencari berbagai
macam ilmu yang kemudian kita amalkan dan sebarkan sebagai tabungan amal sholeh
di akhirat kelak.
Sebagai
seorang muslim pasti telah mengetahui bahwa hari jumat adalah hari terbaik
dalam satu pekan, sebagaimana dalam hadist Rosulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda :
خَيْرُ يَوْمٍ طَلَعَتْ عَلَيْهِ الشَّمْسُ
يَوْمُ الْجُمُعَةِ فِيهِ خُلِقَ آدَمُ وَفِيهِ أُدْخِلَ الْجَنَّةَ وَفِيهِ
أُخْرِجَ مِنْهَا.
“Sebaik-baiknya hari yang matahari terbit didalamnya
adalah hari Jumat, karena pada hari
itulah Adam diciptakan, pada hari itu pula dia dimasukkan ke dalam surga, dan pada hari itu
pula dia dikeluarkan darinya.” (HR. Muslim
no. 854)
Hari
terbaik yang Allah ciptakan adalah hari jumat, mengapa jum’at? karena di
dalamnya terdapat banyak amalan-amalan
yang hanya khusus dilaksanakan pada hari itu. Diantaranya: Sholat jumat yang hukumnya
fardlu ain, membaca surat Al-Kahfi, memperbanyak sholawat kepada Nabi, mandi besar,
mengenakan pakian terbaik, bergegas pergi untuk menunaikan sholat Jumat, banyak
berdzikir dan berdoa hingga khotib naik mimbar.
Juga pada
hari Jumat terdapat waktu mustajab dikabulkannya doa. Ulama berbeda pendapat
dalam menentukan waktu mustajab tersebut. Pendapat yang paling shohih
mengatakan bahwa waktunya sejak khotib naik mimbar hingga selesai sholat jumat
atau setelah Ashar.
Tidaklah
seorang muslim bertepatan dengan waktu tersebut sedangkan ia sedang dalam
keadaan berdiri melaksanakan sholat dan memohon sesuatu kepada Allah baik yang
berkaitan dengan urusan agama maupun urusan dunia, melainkan Allah Ta`ala akan
mengabulkannya. Selama dia tidak
berdoa untuk melakukan perbuatan dosa atau memutuskan hubungan keluarga.
Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya:
“Doa seorang hamba niscaya dikabulkan, selama
dia tidak berdoa untuk suatu perbuatan dosa atau memutuskan hubungan keluarga.”
(HR Muslim no. 2735)
Allah Ta`ala merahasiakan waktu
tersebut sehingga keberadaannya tidak diketahui, apakah berada di permulaan , pertengahan,
atau penghujung hari jumat. Allah merahasiakannya karena mengandung hikmah dan
rahmat, karena jika keberadaannya diketahui maka kaum muslimin tidak
bersemangat melakukan ibadah serta berdoa kecuali pada waktu tersebut.
“Waktu”
yang sangat diharapkan menjadi waktu dikabulkannya doa adalah dua waktu,
Pertama, Ketika khotib naik mimbar hingga selesai
sholat. Saat itu menjadi istimewa dengan berkumpulnya orang-orang yang sholat
dan berkumpul untuk melakukan sebuah ibadah yang memiliki pengaruh pada
terkabulnya doa. Dari Abu Burdah dari bapaknya, dia berkata : Aku
mendengar Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
هِىَ مَا بَيْنَ أَنْ
يَجْلِسَ الإِمَامُ إِلَى أَنْ تُقْضَى الصَّلاَةُ
“Waktu (Mustajab)
tersebut diantara duduk imam hingga selesai sholat.” (HR. Muslim no. 853)
Kedua, waktu diantara sholat Ashar sampai
terbenamnya matahari, sebagaimana dijelaskan dalam hadits dari Abdullah bin
Salam yang diriwayatkan Ibnu Majah dan dari Jabir yang diriwayatkan Abu Daud
dan An-Nasai,
أَنَّهَا مَا بَيْنَ صَلاَةِ
العَصْرِ إِلَى غُرُوْبِ الشَّمْسِ
“Waktu tersebut diantara sholat Ashar hingga terbenam
matahari.”
Mari kita fokuskan pikiran serta berusaha semaksimal mungkin
pada hari itu agar berhasil menepati waktu yang penuh berkah tersebut. Doa yang
akan dikabulkan adalah doa yang disyariatkan dalam segi lafadzh (bacaan) serta
maksudnya.
Wallahu Ta`ala
A`lamu Bishowwab.
Penulis: Muhammad Fauzan Sholeh.
Ada Apa Dengan Tahun Baru?
Sebuah malam dimana banyak manusia mengharapkan
akan kedatangannya. Mereka
berbondong-bondong menyambut malam tersebut. Mereka beramai-ramai mempersiapkan
dari jauh hari demi menyambutnya. Ketika jarum jam tepat menunjukan ke angka
12, mereka secara kompak menyambutnya dan meraimaikannya dengan petasan-petasan
dan kembang api. Itulah fenomena yang terjadi di saat malan tahun baru. Jika
kita bertanaya kepada diri kita masing-masing, apa yang saja yang kita lakukan
di malam tersebut?
Apa Itu Aqidah?
Aqidah,
atau dalam bahasa Indonesia bisa kita artikan kepercayaan, keyakinan akan
sesuatu; baik keyakinan itu benar maupun salah. Aqidah merupakan aspek
kehidupan yang sangat penting bagi seseorang, semua manusia yang hidup, dia
pasti beraqidah.
Setiap manusia memilih aqidah atau keyakinan
masing-masing untuk dirinya. Tak
sedikit yang salah dalam memilih keyakinan. Ada orang yang berkeyakinan bahwa pohon besar
di daerah tertentu bisa memberikan berkah dan menolak bencana,
Thursday, 9 January 2014
Sepenggal Kisah Dari Bumi Syam V (Catatan Relelawan Suriah)
Bagian V
Penjaga bersenjata laras panjang dan mobil patroli yang standby di depan gerbang kampus Al Azhar hari ini mengembalikan alam pikir ku pada mereka. Mereka yang hidup di bawah desing peluru dan dentuman bom, gemuruh suara pesawat tempur diantara ancaman mati. Kapan saja musuh dapat masuk dan memporak porandakan mereka, mendobrak pintu rumah, memecahkan kaca jendela, dan membunuhi semua yang bernyawa. Atau, mereka disapa oleh tembakan-tembakan tank musuh yang dilontarkan dari jarak delapan kilo meter dari balik bukit, siang malam, tanpa mengenal waktu, antara hidup dan mati.
Penjaga bersenjata laras panjang dan mobil patroli yang standby di depan gerbang kampus Al Azhar hari ini mengembalikan alam pikir ku pada mereka. Mereka yang hidup di bawah desing peluru dan dentuman bom, gemuruh suara pesawat tempur diantara ancaman mati. Kapan saja musuh dapat masuk dan memporak porandakan mereka, mendobrak pintu rumah, memecahkan kaca jendela, dan membunuhi semua yang bernyawa. Atau, mereka disapa oleh tembakan-tembakan tank musuh yang dilontarkan dari jarak delapan kilo meter dari balik bukit, siang malam, tanpa mengenal waktu, antara hidup dan mati.
Tuesday, 7 January 2014
Sepenggal Kisah Dari Bumi Syam IV (Catatan Relelawan Suriah)
Bagian IV
Yang unik menurut saya dari kendaraan bermotor di Suriah, mereka seneng menghias motor atau mobil ky kuda, bayangin gmn kocaknya klo motor dikasih pelana sama tali kekang? tambah hiasan kepala macam kuda-kuda perang. hahaa
Mobilnya butut, ky mobil Cary tapi gedean dikit; tengah dua kursi, depan tiga kursi termasuk sopir, belakang muat empat orang. Bodinya, klo kata pemerintahan Jakarta Baru mah, udah gak layak pakai. Hehe.. Tapi jalannya cuy, apalagi tampilan supirnya, gak beda ky penjuual sayur keliling di Mesir; pake jubah panjang dan imamah, pokoknya sensasinya beda lah, macam akulturasi beberapa budaya yang enggak menghapus satu sama lain.
Sekitar setengah jam melaju kenjang, mobil butut tapi kece itu berhenti, "Kita ganti mobil." Kta Abu Zubaidah, pimpnan kami yang menggantikan Abu Saad. Pasalnya, Abu Saad masih stay satu hari lagi di Turki untuk beberapa urusan. Tidak lama, dua mobil dan satu motor datang. Dan lagi-lagi, dengan Kalashnikov di punggung masing-masing, ditambah senjata jarak dekat di pinggang si pengendara motor, mereka menyebutnya "Musaddas." macam kesatria bermootor, gumam saya dalam hati.
Khas; sorban dililitkan di leher, wajah putih mata biru, perawakan tinggi besar, ramah santun, "Assalamualikum.." tangan kanan menjabat kami, tangan kirinya menggenggam senajata yang diarahkan ke atas langit. "Tafaddhal ya akhi.. Sudah gelap kita harus bergerak cepat!" Katanya.
"Rizqi, kamu kan kecil di depan aja, nih pegang senajatanya, kalo ada seragan musuh di jalan, tembak aja!" kata pak supir dan kawan-kawan.
Wadduh, mana bisa saya nembak, laras penek aja gak pernah megang apalagi ngoprasiin senjata laras panjang, tapi ya gmn lagi, resiko punya badan paling kecil jadinya duduk di depan. Karena sempit jadi senjata harus di pegang sama yang duduk dekat jendela, karena pak supir sibuk nyetir kan. Yah, maklum mobilnya kecil.
"Yallah, tawakkal alallah!" ucap salah seorag supir kepada supir lainnya, waktunya berangkat. Mobil melaju kencang, pak supir menyetel radio, terdengar suara tangis seorang wanita di sebrang sana, "Para tentara melecehkan saya, bal bla bla.." saya sendiri tidak terlalu ingat apa jelasnya, tapi itu inti yang bisa saya tangkap dari curhatan si perempuan kepada operator. "Dengarkan kesaksian itu wahai Bashar dan semua antek-anteknya, bertaubatlah kalian kepada Allah! bla bla bla.." kata si pembawa acara menutup siarannya.
"Ini siaran dari pihak Mujahidin?" tanya saya keapda pak supir.
"Ya, mujahidin bergerak melalui radio, karena media televisi sepenuhnya masih dipegang oleh pemerintah."
"Allahu Yahfadzukum wa yahmikum yaa akhi, Allahu Yanshurul Mujahidin Wa yustabbit aqdamahum.."
sepontan terucap dari lisan ini, dengan hati bergemuruh, yaa Allah, bantu saudara-saudara kami. "Yaa Rabb, allahu yahmihim wa yanshuruhum," jawab supir dan kawan-kawan. kita Berharap Allah menguatkan pijakan para Mujahidin dan meneguhkan hati mereka, karena merekalah tulang punggung kaum muslimin di Suriah seakrang.
Terus melaju, diiringi nashid-nashid yang menggetarkan jiwa, di bawah sinar rembulan melesat kencang melintasi perbuktan, mewaspadai ancaman udara pesawat-pesawat tempur musuh yang gemar berpatroli di malam hari, yang akan menembak apapun yang nampak becahaya dan berjalan di kawasan musuh. Anjing-anjing saling bersautan, gonggongannya menambah kesan mencekam malam itu.
Fi Sabilillah Namdhi.. Nabtaghi Rof'al Liwa..
Wal Ya'ud Liddini 'Izzu.. Wal Ya'ud Lis Syami Majdu..
Falturqoq! Minnaddima..!
Falturoq! Minnadima...!
Allahu Akbar! Kami semua mengacungkan telunjuk ke atas, sesekali mengepalkan tinju dengan semangat, bernashid bersama. detik-detik yang sungguh indah.
Mobil terus melaju, melewati beberapa perbatasan lagi, sebelum kemudian sampai di tujuan dengan selamat. Alhamdulillah.. Istirahat, besok kita harus bekerja! sampaikan amanah kaum Muslimin Indonesia!
Alahu Akbar!
Bersambung..
Yang unik menurut saya dari kendaraan bermotor di Suriah, mereka seneng menghias motor atau mobil ky kuda, bayangin gmn kocaknya klo motor dikasih pelana sama tali kekang? tambah hiasan kepala macam kuda-kuda perang. hahaa
Mobilnya butut, ky mobil Cary tapi gedean dikit; tengah dua kursi, depan tiga kursi termasuk sopir, belakang muat empat orang. Bodinya, klo kata pemerintahan Jakarta Baru mah, udah gak layak pakai. Hehe.. Tapi jalannya cuy, apalagi tampilan supirnya, gak beda ky penjuual sayur keliling di Mesir; pake jubah panjang dan imamah, pokoknya sensasinya beda lah, macam akulturasi beberapa budaya yang enggak menghapus satu sama lain.
Sekitar setengah jam melaju kenjang, mobil butut tapi kece itu berhenti, "Kita ganti mobil." Kta Abu Zubaidah, pimpnan kami yang menggantikan Abu Saad. Pasalnya, Abu Saad masih stay satu hari lagi di Turki untuk beberapa urusan. Tidak lama, dua mobil dan satu motor datang. Dan lagi-lagi, dengan Kalashnikov di punggung masing-masing, ditambah senjata jarak dekat di pinggang si pengendara motor, mereka menyebutnya "Musaddas." macam kesatria bermootor, gumam saya dalam hati.
Khas; sorban dililitkan di leher, wajah putih mata biru, perawakan tinggi besar, ramah santun, "Assalamualikum.." tangan kanan menjabat kami, tangan kirinya menggenggam senajata yang diarahkan ke atas langit. "Tafaddhal ya akhi.. Sudah gelap kita harus bergerak cepat!" Katanya.
"Rizqi, kamu kan kecil di depan aja, nih pegang senajatanya, kalo ada seragan musuh di jalan, tembak aja!" kata pak supir dan kawan-kawan.
Wadduh, mana bisa saya nembak, laras penek aja gak pernah megang apalagi ngoprasiin senjata laras panjang, tapi ya gmn lagi, resiko punya badan paling kecil jadinya duduk di depan. Karena sempit jadi senjata harus di pegang sama yang duduk dekat jendela, karena pak supir sibuk nyetir kan. Yah, maklum mobilnya kecil.
"Yallah, tawakkal alallah!" ucap salah seorag supir kepada supir lainnya, waktunya berangkat. Mobil melaju kencang, pak supir menyetel radio, terdengar suara tangis seorang wanita di sebrang sana, "Para tentara melecehkan saya, bal bla bla.." saya sendiri tidak terlalu ingat apa jelasnya, tapi itu inti yang bisa saya tangkap dari curhatan si perempuan kepada operator. "Dengarkan kesaksian itu wahai Bashar dan semua antek-anteknya, bertaubatlah kalian kepada Allah! bla bla bla.." kata si pembawa acara menutup siarannya.
"Ini siaran dari pihak Mujahidin?" tanya saya keapda pak supir.
"Ya, mujahidin bergerak melalui radio, karena media televisi sepenuhnya masih dipegang oleh pemerintah."
"Allahu Yahfadzukum wa yahmikum yaa akhi, Allahu Yanshurul Mujahidin Wa yustabbit aqdamahum.."
sepontan terucap dari lisan ini, dengan hati bergemuruh, yaa Allah, bantu saudara-saudara kami. "Yaa Rabb, allahu yahmihim wa yanshuruhum," jawab supir dan kawan-kawan. kita Berharap Allah menguatkan pijakan para Mujahidin dan meneguhkan hati mereka, karena merekalah tulang punggung kaum muslimin di Suriah seakrang.
Terus melaju, diiringi nashid-nashid yang menggetarkan jiwa, di bawah sinar rembulan melesat kencang melintasi perbuktan, mewaspadai ancaman udara pesawat-pesawat tempur musuh yang gemar berpatroli di malam hari, yang akan menembak apapun yang nampak becahaya dan berjalan di kawasan musuh. Anjing-anjing saling bersautan, gonggongannya menambah kesan mencekam malam itu.
Fi Sabilillah Namdhi.. Nabtaghi Rof'al Liwa..
Wal Ya'ud Liddini 'Izzu.. Wal Ya'ud Lis Syami Majdu..
Falturqoq! Minnaddima..!
Falturoq! Minnadima...!
Allahu Akbar! Kami semua mengacungkan telunjuk ke atas, sesekali mengepalkan tinju dengan semangat, bernashid bersama. detik-detik yang sungguh indah.
Mobil terus melaju, melewati beberapa perbatasan lagi, sebelum kemudian sampai di tujuan dengan selamat. Alhamdulillah.. Istirahat, besok kita harus bekerja! sampaikan amanah kaum Muslimin Indonesia!
Alahu Akbar!
Bersambung..
Monday, 6 January 2014
Mutiara Hikmah Ulama'
Oleh: Ust. Muhammad nurhuda
Pengalaman Hidup adalah
GURU Yang Ber-HARGA
Hikmah adalah kata ringkas namun bijak, sarat makna kehidupan. Hidup memberikan pelajaran, pergaulan dg manusia menghasilkan nasihat, pergesekan dg sesama mencerahkan pikiran. Itulah pengalaman hidup sehingga lahir kata2 hikmah.
Berikut ini, diantaranya mutiara hikmah hidup dg harapan smoga bermanfaat:
10 Prinsip Meraih Ilmu
Oleh: Asy Syaikh ‘Abdullah bin Shalfiq Azh-Zhafiri
بسم الله الرحمن الرحيم
Muqaddimah oleh Asy-Syaikh Ahmad bin Yahya An-Najmi:Saudaraku fillah ‘Abdullah bin Shalfiq Azh-Zhafiri telah menunjukkan kepadaku buah penanya tentang prinsip-prinsip yang selayaknya dijalani oleh para penuntut ilmu. Sungguh aku melihat tulisan tersebut sebagai karya yang istimewa. Dia telah mendapatkan taufiq untuk mengumpulkan prinsip-prinsip yang dibutuhkan oleh penuntut ilmu, diiringi dengan dalil-dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah.
Kesimpulannya, penulis telah melakukan suatu yang bagus dan memberikan faidah. Semoga Allah membalasnya dengan kebaikan, dan semoga Allah membanyakkan yang semisal ini.
Aku memberikan semangat kepada para penuntut ilmu untuk menghafal dan memperhatikan prinsip-prinsip ini. Wabillahit Taufiq.
Ahmad bin Yahya An-Najmi
27-4-1421 H
* * *
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على رسول الله، أما بعد :
Tulisan ini merupakan penjelasan ringkas tentang prinsip-prinsip penting yang diperlukan oleh seorang yang menempuh jalan thalabul ‘ilmi (menuntut ilmu syar’i). Saya wasiatkan dan saya ingatkan diriku dan saudara-saudaraku sekalian dengannya, karena sesungguhnya seorang yang menempuh jalan thalabul ‘ilmi dan ingin menuai hasilnya maka harus ada 10 prinsip :
>> Pertama: Meminta Tolong Kepada Allah
Manusia itu lemah. Tidak ada daya dan kekuatan baginya kecuali dari Allah. Apabila dia diserahkan pada dirinya sendiri, maka sungguh dia akan hancur dan binasa. Namun kalau dia menyerahkan segala urusannya kepada Allah Ta’ala dan meminta tolong kepada-Nya dalam menuntut ilmu, maka Allah pasti akan menolongnya. Allah ‘Azza wa Jalla telah memberikan dorongan untuk berbuat demikian dalam Kitab-Nya yang mulia, Allah befirman :
( إياك نعبد وإياك نستعين )
Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami minta pertolongan. [Al-Fatihah]
Allah juga berfirman :
(ومن يتوكل على الله فهو حسبة ) [ الطلاق : 3]
“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah, maka Dia yang akan menjadi sebagai pencukupnya.” [Ath-Thalaq: 3]
Allah juga berfirman :
( وعلي الله فتوكلوا إن كنتم مؤمنين ) ]المائدة : 23[
"dan hanya kepada Allah sajalah hendaknya kalian bertawakkal, jika kalian memang kaum mukminin." (Al maidah: 23)
Nabi Shallahu 'alaihi wa Sallam bersabda :
لو أنكم توكلون على الله حق توكله لرزقكم كما يرزق الطير ، تغدو خماصاً ، وتروح بطاناً
"Kalau seandainya kalian bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benarnya, niscaya Allah akan memberikan rizki kepada kalian, sebagaimana Dia memberi rizki pada burung, yakni burung tersebut berangkat pagi dalam keadaan lapar, pulang sore hari dalam keadaan kenyang." *1
Sebesar-besar rizki adalah: ilmu.
Nabi kita Muhammad Shallahu 'alaihi wa Sallam senantiasa bertawakkal dan meminta pertolongan kepada Rabbnya dalam segala urusan beliau. Dalam doa keluar rumah yang sah dari Nabi Shallahu 'alaihi wa Sallam terdapat dalil yang menunjukkan hal tersebut. Beliau berdo'a :
بسم الله توكلت على الله ولا حول ولا قوة إلا بالله
"Dengan nama Allah, aku bertawakkal kepada Allah. Tiada daya dan kekuatan kecuali dari Allah." *2
>> Kedua: Niat yang baik.
Seseorang niatnya harus karena Allah 'Azza wa Jalla dalam menuntut ilmu. Bukan menginginkan didengar (orang lain) atau pun ingin terkenal, tidak pula karena kepentingan-kepentingan duniawi. Barangsiapa yang menjadikan niatkan hanya karena Allah, maka Allah akan memberikan taufiq padanya serta memberikan pahala atas amalannya tersebut. karena (menuntut) ilmu adalah ibadah, bahkan termasuk ibadah yang terbesar.
Suatu amalan, seorang hamba tidak akan diberi pahala atas amalan tersebut, kecuali apabila dia mengikhlashkan karena Allah, dan mengikuti Rasulullah Shallahu 'alaihi wa Sallam. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
( إن الله مع الذين اتقوا والذين هم محسنون ) [ النحل : 128[
"Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat ihsan." [An-Nahl: 128]
Ketaqwaan yang terbesar adalah mengikhlashkan niat karena Allah. Adapun orang yang riya’ dalam menuntut ilmu, disamping dia rugi di dunia, dia juga akan diadzab di Hari Akhir. Sebagaimana dalam hadits yang menjelaskan tentang 3 orang yang diseret di atas wajah-wajah mereka. Salah satu dari tiga orang tersebut adalah seorang penuntut ilmu, yang mencari ilmu agar dirinya dikatakan sebagai orang ‘alim (berilmu), dan dia telah dikatakan demikian. *3
>> Ketiga: Merendah Kepada Allah dan Memohon Kepada-Nya Taufiq dan Ketepatan Serta meminta kepada Rabbnya tambahan dalam menuntut ilmu.
Seorang hamba itu faqir, sangat butuh kepada Allah. Dan Allah Ta’ala telah memberikan motivasi hamba-hamba-Nya untuk meminta dan merendah kepada-Nya. Allah berfirman :
( ادعوني أستجب لكم ) [ غافر : 60[
"Berdo'alah kalian kepada-Ku niscaya Aku kabulkan untuk kalian." [Ghafir: 60]
Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :
( ينزل ربنا كل ليلة إلي سماء الدنيا حين يبقى ثلث الليل الآخر ، فيقول: من يدعوني فأستجب له ، من يسألني فأعطية ، ومن يستغفرني فأغفر له)
“Rabb kita tiap malam turun ke langit dunia ketika tersisa sepertiga malam terakhir, seraya berkata: ‘Barangsiapa yang berdo’a kepada-Ku pasti akan Aku kabulkan, barangsiapa yang meminta kepada-Ku niscaya Aku beri dia, dan barangsiapa yang meminta ampun kepada-Ku niscaya Aku ampuni dia.” *4
Allah ‘Azza wa Jalla juga telah memerintahkan Nabi-Nya untuk memohon kepada-Nya tambahan ilmu. Allah berfirman :
( وقل رب زدني علما ) [ طه: 114]
Dan katakanlah (dalam doamu) Wahai Rabbku, tambahkan untukku ilmu. [Thaha: 114]
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman mengisahkan tentang Nabi Ibrahim ‘alahis salam :
( رب هب لي حكما وألحقني بالصالحين ) [ الشعراء: 83]
(Ibrahim berdoa): “Ya Rabbi, berikanlah kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang shalihin.” [Asy-Syu'ara: 83]
Hikmah di sini yang dimaksud adalah ilmu. Sebagaimana sabda Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam :
إذا اجتهد الحاكم … الحديث
Apabila seorang hakim (berilmu) telah berijtihad … *5
Nabi Shallahu ‘alaihi wa Sallam pernah mendo’kan shahabat Abu Hurairah Radhiyallah ‘anhu agar diberi kekuatan hafalan. *6
Beliau Shallahu ‘alaihi wa Sallam juga mendo’akan shahabat Ibnu ‘Abbas agar diberi karunia ilmu. beliau berdo’a :
اللهم فقهه في الدين ، وعلمه التأويل
Ya Allah, jadikan ia faqih (berilmu) tentang agama, dan ajarkanlah padanya ilmu tafsir.” *7
Allah pun mengabulkan doa beliau Shallahu ‘alaihi wa Sallam. Maka shahabat Abu Hurairah Radhiyallah ‘anhu tidaklah beliau mendengar satu hadits/ilmu kecuali beliau menghafalnya. Dan jadilah Ibnu ‘Abbas Radhiyallah ‘anhuma sebagai hibrul ummah dan turjumanul qur`an (gelar bagi shahabat Ibnu ‘Abbas karena keilmuannya yang sangat luas dan pemahamannya yang sangat mendalam terhadap tafsir Al-Qur’an).
Para ‘ulama pun senantiasa berjalan di atas prinsip ini. Inilah Syaikh Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, beliau menuju ke masjid, kemudian sujud kepada Allah dan meminta kepada-Nya dengan mengatakan: “Wahai Dzat yang telah mengajari Nabi Ibrahim, ajarilah aku. Wahai Dzat yang telah memberikan pemahaman kepada Nabi Sulaiman, pahamkanlah aku.”
Maka Allah pun mengabulkan doa beliau. Sampai-sampai Ibnu Daqiqil ‘Id rahimahullah mengatakan: “Sungguh Allah telah mengumpulkan ilmu untuknya, sampai seakan-akan ilmu tersebut berada di antara kedua matanya, yang bisa beliau ambil sekehendak beliau.”
>> Keempat: Kebaikan Hati.
Hati merupakan wadah bagi ilmu. apabila wadah tersebut bagus, maka bisa melindung dan menjaga sesuatu yang ada di dalamnya. Namun apabila wadanya rusak, maka sesuatu yang ada di dalamnya bisa hilang.
Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam menjadikan hati sebagai dasar bagi segala sesuatu. Beliau bersabda :
ألا وإن في الجسد مضغه ، إذا صلحت صلح الجسد كله ، وإذا فسدت فسد الجسد كله ، ألا وهي القلب
“Ketahuilah bahwa dalam jasad itu terdapat segumpal daging. Apabila segumpal daging tersebut baik, maka baiklah seluruh jasad. Namun jika jelek, maka jasad seluruhnya pun jelek. Ketahulah bahwa segumpal daging tersebut adalah hati.” *8
Kebaikan hati akan terwujud dengan ma’rifatullah (mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala) dengan nama-nama, sifat-sifat, dan perbuatan-perbuatan-Nya, serta merenungkan makhluk-makhluk dan ayat-ayat-Nya.
Kebaikan hati juga akan terwujud dengan merenungkan Al-Qur`anul ‘Azhim. Demikian juga kebiakan hati akan terwujud dengan banyak sujud dan shalat malam.
Hendaknya seseorang menjauh/menghindarkan dari perusak-perusak dan penyakit-penyakit hati. Perusak dan penyakit tersebut apabila ada dalam hati, maka hati tersebut tidak akan mampu membawa ilmu, kalau pun bisa membawanya namun ia tidak akan memahaminya. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang orang-orang munafik yang sakit hatinya,
Mereka punya hati namun mereka tidak bisa memahaminya. [Al-A'raf: 179]
Penyakit-penyakit hati, terbagi dua: syahwat dan syubhat.
Syahwat, seperti cinta dunia dan berbagai kelezatannya, serta menyibukkan diri denganya, senang kepada gambar-gambar yang haram, suka mendengarkan sesuatu yang diharamkan berupa suara musik atau lagu, dan juga melihat sesuatu yang haram.
Syubhat, seperti keyakinan-keyakinan yang rusak, amal-amal yang bid’ah, menisbahkan diri pada berbagai paham pemikiran bid’ah yang menyimpang dan menyelisihi manhaj salaf.
Termasuk penyakit hati yang bisa menghalangi dari ilmu adalah, hasad ,khianat, dan sombong.
Termasuk perusak hati juga adalah kebanyakan tidur, banyak bicara, dan banyak makan.
Maka hendaknya dihindarkan penyakit-penyakit dan perusak-perusak kebaikan hati di atas.
>> Kelima: Kecerdasan.
Kecerdasan itu ada yang alami, ada pula yang muktasab (bisa diupayakan). Apabila seseorang memang cerdas, maka dia harus semakin menguatkannya. Kalau tidak, maka dia harus menampa diri agar bisa meraih kecerdasan tersebut.
Kecerdasan merupakan di antara sebab kuat yang menunjang dalam pengumpulan ilmu, memahami, dan menghafalnya, serta membedakan antara berbagai masalah, memadukan dalil-dalil, dan sebagainya.
>> Keenam: Antusias Mengumpulkan Ilmu merupakan sebab untuk bisa memperolehnya dan mendapatkan pertolongan Allah Ta’ala terhadapnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
( إن الله مع الذين اتقوا والذين هو محسنون ) [ النحل: 128]
“Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat ihsan.” [An-Nahl: 128]
Seseorang apabila dia tahu tentang nilai penting sesuatu, maka ia akan antusias untuk meraihnya. Sedangkan ilmu merupakan suatu terbesar yang semestinya diraih oleh seseorang.
Maka wajib atas penuntut ilmu: Antusias yang kuat untuk menghafal dan memahami ilmu, duduk bersama para ‘ulama dan talaqqi ilmu langsung dari mereka, semangat untuk banyak membaca, menyibukkan umur dan waktunya (untuk ilmu), dan sangat perhitungan terhadap waktunya.
>> Ketujuh: Keseriusan, Kesungguhan, dan Kontiunitas dalam Meraih Ilmu
Menjauh dari kemalasan dan kelemahan.
Mujahadatun Nafs (memerangi diri sendiri) dan memerangi syaithan. Jiwa dan Syaithan merupakan dua penghalang amalan menuntut ilmu.
Di antara sebab yang membantu membangkitkan kesungguhan dalam menuntut ilmu adalah: Membaca biografi-biografi para ‘ulama, tentang kesabaran, kekokohan menanggung beban/resiko, dan perjalanan mereka dalam meraih ilmu dan hadits.
>> Kedelapan: Konsentrasi.
Yaitu seorang penuntut ilmu mencurahkan segala kesungguhannya hingga ia berhasil sampai kepada tujuannya dalam ilmu dan kekokohan padanya, baik kekuatan hafalan, pemahaman, dan pondasi yang kokoh.
>> Kesembilan: Terus Berada di Sisi Guru dan Pengajar.
Ilmu itu diambil dari mulut para ‘ulama. Maka seorang penuntut ilmu, agar kokoh dalam ilmu di atas pondisi yang benar, maka hendaknya ia bermulazamah kepada ‘ulama, talaqqi (mengambil) ilmu langsung dari mereka. Sehingga pencarian ilmunya tegak di atas kaidah-kaidah yang benar. mampu melafazhkan nash-nash qur’ani dan hadits dengan pelafazhan yang benar, tidak ada kesalahan maupun kekeliruan. Memahami ilmu dengan pemahaman yang tepat sesuai maksudnya. Dan lebih dari itu, dia bisa mengambil faidah dari ‘ulama: adab, akhlaq, dan sifat wara’. Hendaknya dia menghindar agar jangan sampai yang menjadi gurunya adalah kitab. Karena sesungguhnya barangsiapa yang gurunya adalah kitabnya maka ia akan banyak salahnya sedikit benarnya.
Demikianlah, inilah yang terjadi pada umat ini. Tidak seorang tampil menonjol dalam ilmu kecuali ia sebelumnya telah tertarbiyyah dan terdidik di hadapan ‘ulama.
>> Kesepuluh: Menempuh Waktu yang Lama.
Janganlah seorang penuntut ilmu mengira bahwa menuntut ilmu akan selesai sehari atau dua hari, setahun atau dua tahun. Bahkan menuntut ilmu itu butuh kesabaran bertahun-tahun.
Al-Qadhi ‘Iyadh ditanya,
“Sampai kapan seseorang itu menuntut ilmu?”
Beliau menjawab,
“Sampai mati, sehingga tintanya menemaninya sampai ke kuburnya.”
Al-Imam Ahmad berkata:
“Aku duduk mempelajari Kitabul Haidh selama sembilan tahun hingga aku memahaminya.”
Demikianlah, para penuntut ilmu yang cerdas senantiasa duduk bermulazamah kepada ‘ulama selama sepuluh tahun atau dua puluh tahun. Bahkan sebagian mereka terus bermulazamah hingga Allah mewafatkannya.
Inilah beberapa prinsip yang perlu untuk diperhatikan oleh penuntut ilmu guna meraih ilmu.
Saya memohon kepada Allah agar memberikan taufiq terhadap kita dan antum kepada ilmu yang bermanfaat dan amal yang shalih.
وصلي الله على نبينا محمد ، وعلي آله وصحبه ومن تبعهم واقتفي أثرهم بإحسان إلي يوم الدين .
تم ولله الحمد .
Catatan Kaki :
* 1: HR. Ahmad (I/30), At-Tirmidzi (2344), Ibnu Majah (4164), dari shahabat ‘Umar bin Al-Khaththab Radhiyallah ‘anhu. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 310.
* 2: HR. Abu Dawud (5095). At-Tirmidzi (3426), dari shahabat Anas bin Malik Radhiyallah ‘anhu. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Kalimuth Thayyib no. 59.
* 3: Yaitu hadits dari shahabat Abu Hurairah Radhiyallah ‘anhu bahwa Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam menceritakan tentang tiga orang yang pertama kali diadili para hari Kiamat nanti, salah satu di antara mereka adalah orang yang diberi karunia ilmu :
… وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ فَأُتِىَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيكَ الْقُرْآنَ. قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ عَالِمٌ. وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ هُوَ قَارِئٌ. فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِىَ فِى النَّارِ. …
“… dan seorang yang mempelajari ilmu dan mengajarkannya, serta rajin membaca Al-Qur’an. Maka ia pun didatangkan, kemudian diperlihatkan kenikmatan-kenikmatan yang telah diberikan kepadanya, maka ia pun mengakuinya. Allah berkata: ‘Apa yang kamu amalkan dengan nikmat-nikmat tersebut?’ Dia menjawab: ‘Saya mempelajari ilmu dan mempelajarinya, serta aku rajin membaca Al-Qur’an karena Engkau.’ Allah menjawab: ‘kamu telah berdusta!! Engkau mempelajari ilmu karena ingin dikatakan sebagai seorang yang ‘alim (berilmu), dan engkau rajin membaca Al-Qur’an supaya dikatakan dia adalah qari’, dan kamu telah dikatakan demikian.’ Maka dia diperintahkan diseret di atas wajah, kemudian dicampakkan ke dalam Neraka. …” [HR. Muslim 1905]
* 4: HR. Al-Bukhari 1145, Muslim 758, dari shahabat Abu Hurairah Radhiyallah ‘anhu
* 5: HR. Al-Bukhari 7352, Muslim 1716 dari shahabat ‘Amr bin Al-’Ash dan shahabat Abu Hurairah Radhiyallah ‘anhuma.
* 6: Lihat HR. Al-Bukhari 119
* 7: Penggal pertama do’a ini: (اللهم فقهه في الدين ) diriwayatkan oleh Al-Bukhari 143. Adapun penggal kedua diriwayatkan oleh Ath-Thabarani. Lihat Ash-Shahihah no. 2589.
* 8: HR. Al-Bukhari no. 52, Muslim 1599, dari shahabat An-Nu’man bin Basyir Radhiyallah ‘anhu.
Sumber: http://www.dammajhabibah.wordpress.com
Bolehkah Tayammum di atas Pesawat ?
Selama masih ada air, maka wajib bagi seorang muslim berwudhu’ dengan air secukupnya dan tidak diperbolehkan beralih kepada tayammum. Adapun jika tidak ada air, maka jika memungkinkan baginya menemukan tempat yang berdebu di atas pesawat, maka dibolehkan baginya bertayammum.
Namun jika dia tidak menemukannya dalam keadaan dia khawatir waktu shalat akan keluar, maka dia tetap harus mengerjakan shalat meskipun tanpa bersuci sebab hal inilah yang mampu dia lakukan berdasarkan firman Allah Ta’ala:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Bertakwalah kalian kepada Allah sesuai kemampuan kalian.
(QS. At-Taghabun: 16)
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah ditanya tentang seseorang yang kesulitan mendapatkan air untuk berwudhu di atas pesawat:
“Berwudhu dalam keadaan yang engkau sebutkan (dalam pertanyaan, pen) adalah tidak mungkin atau sulit, Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.”
(QS. Al-Hajj: 78)
Maka penumpang tersebut bertayammum di atas karpet pesawat jika dia mendapati ada debu padanya, dan jika dia tidak mendapati debu padanya maka dia shalat meskipun dalam keadaan tidak bersuci disebabkan karena dia tidak mampu melakukannya. Allah Ta’ala berfirman:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Bertakwalah kalian kepada Allah sesuai kemampuan kalian”
Namun jika memungkinkan mendarat di bandara pada akhir waktu shalat yang kedua dan termasuk shalat yang dijamak dengan shalat yang sebelumnya, seperti shalat ashar yang dijamak bersama shalat zhuhur dan isya’ yang dijamak bersama dengan maghrib, maka hendaknya dia akhirkan; yaitu dia berniat menjamak ta’khir dua shalat jika dia telah mendarat di bandara. (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin: 15/412.lihat pula pada jilid 15/413)
Sumber : Tuntunan Shalat Musafir. Hal : 20 – 24. Oleh : Al-Ustadz Abu Karimah Askari
Sunday, 5 January 2014
Sujud Syukur Dan Sujud Tilawah
Untuk melengkapi pembahasan masalah sujud sahwi pada edisi sebelum ini, kali ini kami akan menerangkan tentang sujud tilawah dan sujud syukur. Hal ini agar tidak terkesan dalam benak kita bahwa sujud yang disyariatkan selain sujud yang biasa dalam shalat hanya sujud sahwi saja.
a. Sujud Tilawah
Sujud tilawah mempunyai kedudukan yang tinggi dalam sunnah. Sebagaimana dijelaskan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dalam hadits yang shahih yaitu :
Artinya : Dari abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Jika Bani Adam membaca ayat sajdah maka setan menyingkir dan menangis lalu berkata : ‘Wahai celaka aku, Bani Adam diperintahkan untuk sujud, maka dia sujud, dan baginya Surga, sedangkan aku diperintahkan untuk sujud, tetapi aku mengabaikannya, maka neraka bagiku.’ “ (Dikeluarkan oleh Muslim, lihat Fiqhul Islam halaman 23 karya Syaikh Abdul Qadir Syaibatul Hamdi)
Dengan hadits di atas jelas bagi kita bahwa sujud tilawah mempunyai arti yang agung bagi siapa saja yang mau mengamalkannya. Tentunya hal itu dilakukan dengan niat yang ikhlas hanya mencari wajah Allah Ta’ala dan sesuai dengan contoh Nabi kita, Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Karena amal tanpa kedua syarat tersebut akan tertolak, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, dari Ummul Mukminin, Aisyah Radhiallahu ‘anha :
Artinya : “Barangsiapa mengamalkan suatu amal yang tidak ada perintahnya dari kami, maka amal tersebut tertolak. (HR. Muslim)
Kemudian dalil yang menunjukkan agar kita ikhlas dalam beramal adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
Artinya : “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan ikhlas kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus … .”(Al Bayyinah : 5)
Sedangkan kalau tidak ikhlas, amal itu akan terhapus. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
Artinya : “Jika engkau berlaku syirik kepada Allah, niscaya akan terhapus amalmu. (Az Zumar : 65)
Definisi Sujud Tilawah
Secara bahasa tilawah berarti bacaan. Sedangkan secara istilah, sujud tilawah artinya sujud yang dilakukan tatkala membaca ayat sajdah di dalam atau di luar shalat.
Disyariatkannya Sujud Tilawah Dan Hukumnya
Sujud tilawah termasuk amal yang disyariatkan. Hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam telah menunjukkan hal tersebut. Dikuatkan lagi dengan kesepakatan ulama sebagaimana yang diterangkan oleh Imam Syafi’i dan Imam Nawawi.
Di antara dalil-dalil dari hadits yang menunjukkan disyariatkannya adalah :
1. Hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata :
Artinya : “Kami pernah sujud bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pada surat (idzas sama’un syaqqat) dan (iqra’ bismi rabbikalladzi khalaq). (HR. Muslim dalam Shahih-nya nomor 578, Abu Dawud dalam Sunan-nya nomor 1407, Tirmidzi dalam Sunan-nya nomor 573, 574, dan Nasa’i dalam Sunan-nya juga 2/161)
2. Hadits Ibnu Abbas. Beliau radhiallahu ‘anhu bersabda :
Artinya : “Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam sujud pada surat An Najm.” (HR. Bukhari dalam Shahih-nya 2/553, Tirmidzi 2/464)
Dari hadits-hadits di atas, para ulama bersepakat tentang disyariatkannya sujud tilawah. Hanya saja mereka berselisih tentang hukumnya. Jumhur ulama berpendapat tentang sunnahnya sujud tilawah bagi pembaca dan pendengarnya. Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, bahwasanya Umar radhiallahu ‘anhu pernah membaca surat An Nahl pada hari Jum’at. Tatkala sampai kepada ayat sajdah, beliau turun seraya sujud dan sujudlah para manusia.
Pada hari Jum’at setelahnya, beliau membacanya (lagi) dan tatkala sampai pada ayat sajdah tersebut, beliau berkata :
Artinya : “Wahai manusia, sesungguhnya kita akan melewati ayat sujud. Barangsiapa yang sujud maka dia mendapatkan pahala dan barangsiapa yang tidak sujud, maka tidak berdosa. [ Pada lafadh lain : “Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla tidak mewajibkan sujud tilawah, melainkan jika kita mau.” ] (HR. Bukhari)
Perbuatan Umar radhiallahu ‘anhu di atas dilakukan di hadapan para shahabat dan tidak ada seorangpun dari mereka yang mengingkarinya. Hal ini menunjukkan ijma’ para shahabat bahwa sujud tilawah disunnahkan. Di antara ulama yang menyatakan demikian adalah Syaikh Ali Bassam dalam kitabnya Taudlihul Ahkam dan Sayid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah.
Syaikh Abdurrahman As Sa’di menyatakan : “Tidak ada nash yang mewajibkan sujud tilawah, baik dari Al Qur’an, hadits, ijma’, maupun qiyas … .” (Taudlihul Ahkam, halaman 167)
Pendapat lain menyatakan bahwa sujud tilawah hukumnya wajib. Hal ini dinyatakan oleh Madzhab Hanbali. Mereka berdalil dengan surat Al Insyiqaq :
Artinya : “Mengapa mereka tidak mau beriman? Dan apabila Al Qur’an dibacakan kepada mereka, mereka tidak sujud. (Al Insyiqaq : 20-21)
Dengan adanya ayat di atas, mereka mengatakan bahwa orang yang tidak beriman ketika dibacakan ayat Al Qur’an tidak mau bersujud. Dengan demikian mereka menyimpulkan bahwa sujud tilawah itu hukumnya wajib. Namun pendapat yang rajih (kuat) bahwa hukum sujud tilawah adalah sunnah sebagaimana telah diterangkan di depan. Wallahu A’lam.
Di antara dalil yang menunjukkan tidak wajibnya sujud tilawah adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari :
Artinya : “Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam sujud ketika membaca surat An Najm. (HR. Bukhari)
Pada hadits yang lain, Zaid bin Tsabit berkata :
Artinya : “Saya pernah membacakan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam surat An Najm, tetapi beliau tidak bersujud. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dengan adanya kedua hadits ini dapat diketahui bahwa sujud tilawah tidak wajib hukumnya. Karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam kadang-kadang bersujud pada suatu ayat dan disaat lain pada ayat yang sama beliau tidak sujud. Pada hadits ini juga dimungkinkan bahwa pembaca –dalam hal ini Zaid bin Tsabit– tidak bersujud sehingga Rasulullah pun tidak bersujud.
Hal ini didukung pula dengan perbuatan Umar di atas, beliau radhiallahu ‘anhu tidak bersujud ketika membaca ayat sajdah. Padahal yang ikut shalat bersama beliau radhiallahu ‘anhu adalah para shahabat dan mereka tidak mengingkarinya.
Tempat-Tempat Disyariatkannya Sujud Tilawah
Ada beberapa pendapat mengenai tempat dalam Al Qur’an yang mengandung ayat-ayat sajdah sebagaimana dinyatakan oleh Imam Shan’ani dalam Subulus Salam juz 1, halaman 402-403 :
1. Pendapat Madzhab Syafi’i
Sujud tilawah terdapat pada sebelas tempat. Mereka tidak menganggap adanya sujud tilawah dalam surat-surat mufashal (ada yang berpendapat yaitu surat Qaaf sampai An Nas, ada juga yang berpendapat surat Al Hujurat sampai An Nas).
2. Pendapat Madzhab Hanafi
Sujud tilawah terdapat pada empat belas tempat. Mereka tidak menghitung pada surat Al Hajj, kecuali hanya satu sujud.
3. Pendapat Madzhab Hanbali
Sujud tilawah terdapat pada lima belas tempat. Mereka menghitung dua sujud pada surat Al Hajj dan satu sujud pada surat Shad.
Pendapat pertama berdalil dengan hadits Ibnu Abbas : “Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tidak sujud pada surat-surat mufashal sejak berpindah ke Madinah.” (HR. Abu Dawud, 1403)
Ibnu Qayim Al Jauziyah berkata tentang hadits ini : “Hadits ini dlaif, pada sanadnya terdapat Abu Qudamah Al Harits bin ‘Ubaid. Haditsnya tidak dipakai.” Imam Ahmad berkata : “Abu Qudamah haditsnya goncang.” Yahya bin Ma’in berkata : “Dia dlaif.” An Nasa’i berkata : “Dia jujur, tapi mempunyai hadits-hadits mungkar.” Abu Hatim berkata : “Dia syaikh yang shalih, namun banyak wahm-nya (keraguannya).”
Ibnul Qathan beralasan (men-jarh) dengan tulisannya dan berkata : “Muhammad bin Abdurrahman menyerupainya dalam kejelekan hapalannya dan aib bagi seorang Muslim untuk mengeluarkan haditsnya.”
Padahal telah shahih dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwasanya beliau sujud bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam ketika membaca surat iqra’ bismi rabbikal ladzi khalaq dan idzas samaun syaqqat (keduanya termasuk surat-surat mufashal).
Beliau masuk Islam setelah kedatangan Nabi ke Madinah selama enam atau tujuh tahun. Jika dua hadits di atas bertentangan dari berbagai segi dan sama dalam keshahihannya, niscaya akan jelas untuk mendahulukan hadits Abu Hurairah. Karena hadits ini tsabit (tetap) dan ada tambahan ilmu yang tersamarkan bagi Ibnu Abbas. Apalagi hadits Abu Hurairah sangat shahih, disepakati keshahihannya, sedangkan hadits Ibnu Abbas dlaif. Wallahu A’lam. (Zadul Ma’ad, juz 1 halaman 273)
Pendapat pertama juga berdalil dengan hadits Abi Darda : “Aku sujud bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam sebelas sujud yaitu, Al A’raaf, Ar Ra’d, An Nahl, Bani Israil, Al Hajj, Maryam, Al Furqan, An Naml, As Sajdah, Shad, dan Ha Mim As Sajdah. Tidak ada padanya surat-surat mufashal.”
Abu Dawud berkata : “Riwayat Abu Darda dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam tentang sebelas sujud ini sanadnya dlaif. Hadits ini tidak ada pada riwayat Tirmidzi dan Ibnu Majah, sedangkan sanadnya tidak dapat dipakai.”
Pendapat kedua terbantah dengan hadits ‘Amr bin ‘Ash : “Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam membacakan kepadanya lima belas (ayat) sajdah. Tiga di antaranya terdapat dalam surat-surat mufashal dan dua pada surat Al Hajj.” (HR. Abu Dawud 1401 dan Hakim 1/811)
Hadits ini sekaligus merupakan dalil bagi siapa saja yang menyatakan bahwa sujud tilawah ada lima belas (seperti pendapat ke-3 di atas). Dalam mengomentari hadits ini, Syaikh Al Albani berkata :
“Kesimpulannya, hadits ini sanadnya dlaif. Umat telah menyaksikan kesepakatannya.
Namun, meskipun hadits ini dlaif, tapi didukung oleh kesepakatan umat untuk beramal dengannya. Juga hadits-hadits shahih mendukungnya, hanya saja, sujud yang kedua pada surat Al Hajj tidak didapat pada hadits dan tidak didukung oleh kesepakatan. Akan tetapi shahabat bersujud ketika membaca surat ini. Dan hal ini termasuk hal yang dianggap masyru’, lebih-lebih tidak diketahui ada shahabat yang menyelisihinya. Wallahu A’lam.” (Tamamul Minnah, halaman 270)
Adapun kelima belas ayat sajdah tersebut terdapat pada surat-surat :
1. Al A’raf ayat 206.
2. Ar Ra’d ayat 15.
3. An Nahl ayat 50.
4. Maryam ayat 58.
5. Al Isra’ ayat 109.
6. Al Hajj ayat 18.
7. Al Hajj ayat 77.
8. Al Furqan ayat 60.
9. An Naml ayat 26.
10. As Sajdah ayat 15.
11. Shad ayat 24.
12. An Najm ayat 62.
13. Fushilat ayat 38.
14. Al Insyiqaq ayat 21.
15. Al ‘Alaq ayat 19.
Tata Cara Sujud Tilawah
Tata cara sujud tilawah dijelaskan oleh para ulama dengan mengambil contoh dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan para shahabatnya. Di antara hadits yang diambil faedahnya adalah hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma di atas. Juga atsar Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Sa’id bin Jubair, beliau berkata : “Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma pernah turun dari kendaraannya, kemudian menumpahkan air, lalu mengendarai kendaraannya. Ketika membaca ayat sajdah, beliau bersujud tanpa berwudlu.” Demikian penukilan Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 2/644.
Beliau menambahkan, adapun atsar yang diriwayatkan oleh Baihaqi dari Laits dari Nafi dari Ibnu Umar bahwasanya beliau berkata : “Janganlah seseorang sujud kecuali dalam keadaan suci.” Maka cara menggabungkannya adalah bahwa yang dimaksud dengan ucapannya suci adalah suci kubra (Muslim, tidak kafir) … . Ucapan ini dikuatkan dengan hadits : “Seorang musyrik itu najis.”
Ketika mengomentari judul bab (yaitu bab Sujudnya kaum Muslimin bersama kaum musyrikin padahal seorang musyrik itu najis dan tidak memiliki wudlu) yang dibuat oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya, Ibnu Rusyd berkata : “Pada dasarnya semua kaum Muslimin yang hadir di kala itu (ketika membaca ayat sajdah) dalam keadaan wudlu, tapi ada pula yang tidak. Maka siapa yang bersegera untuk sujud karena takut luput, ia sujud walaupun dia tidak berwudlu ketika ada halangan atau gangguan wudlu.
Hal ini diperkuat dengan hadits Ibnu Abbas bahwa pernah sujud bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, kaum Muslimin, musyrikin, dari golongan jin dan manusia. Di sini, Ibnu Abbas menyamakan sujud bagi semuanya, padahal pada waktu itu ada yang tidak sah wudlunya. Dari sini diketahui bahwa sujud tilawah tetap sah dilakukan, baik oleh orang yang berwudlu maupun yang tidak. Wallahu A’lam.”
Jadi, kesimpulannya bahwa sujud tilawah boleh dilakukan bagi yang berwudlu maupun yang tidak.
Termasuk dari syarat sujud tilawah adalah takbir. Hanya saja terjadi ikhtilaf mengenai hukumnya. Demikian dibawakan oleh Syaikh Ali Bassam dalam kitabnya Taudlihul Ahkam.
Adapun yang rajih (lebih kuat) adalah disunnahkan takbir jika dilakukan dalam shalat. Hal ini berdasarkan keumuman hadits bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam takbir pada tiap pergantian rakaat. Adapun mengenai sujud tilawah diluar shalat, Abu Qilabah dan Ibnu Sirin berkata dalam Al Mushanaf yang diriwayatkan oleh Abdur Razaq : “Apabila seseorang membaca ayat sajdah diluar shalat, hendaklah mengucapkan takbir.”
Beliau (Abdur Razaq) dan Baihaqi meriwayatkannya dari Muslim bin Yasar yang dikatakan Syaikh Al Albani bahwa : “Sanadnya shahih.”
Adapun ketika bangkit dari sujud, tidak teriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bahwa beliau mengucapkan takbir. Hal ini diungkapkan oleh Ibnul Qayim dalam Zadul Ma’ad, juz 1 halaman 272. Wallahu A’lam.
Dari kedua point di atas dapat disimpulkan bahwa pada saat hendak melakukan sujud tilawah :
1. Tidak diharuskan berwudlu.
2. Disunnahkan bertakbir, baik pada waktu shalat maupun diluar shalat.
3. Menghadap kiblat dan menutup aurat, sebagaimana yang dinyatakan oleh para fuqaha.
Tentang masalah ini, terdapat riwayat yang dihasankan oleh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani yang berbunyi : “Dari Abu Abdirrahman As Sulami berkata bahwa Ibnu Umar pernah membaca ayat sajdah kemudian beliau sujud tanpa berwudlu dan tanpa menghadap kiblat dan beliau dalam keadaan mengisyaratkan suatu isyarat.” (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah, lihat Fathul Bari juz 2 halaman 645)
Namun, untuk lebih selamat adalah mengikuti apa yang dinyatakan jumhur fuqaha, sedangkan atsar Ibnu Umar dipahami pada situasi darurat.
4. Boleh dilakukan pada waktu-waktu dilarang shalat.
5. Disunnahkan bagi yang mendengar bacaan ayat sajdah untuk sujud bila yang membaca sujud dan tidak bila tidak.
6. Tidak dibenarkan dilakukan pada shalat sir (shalat dengan bacaan tidak nyaring) seperti pendapat Imam Malik, Abu Hanifah, dan Syaikh Muqbil, serta Syaikh Al Albani. Sedangkan hadits yang menerangkan bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam sujud tilawah pada shalat dhuhur adalah munqathi’ (terputus sanadnya) dan tidak bisa dipakai sebagai dalil. Hal ini diungkapkan oleh Syaikh Al Albani dalam Tamamul Minnah, halaman 272.
7. Doa yang dibaca pada waktu sujud tilawah :
Artinya : “Wajahku sujud kepada Penciptanya dan Yang membukakan pendengaran dan penglihatannya dengan daya upaya dan kekuatan-Nya, Maha Suci Allah sebaik-baik pencipta. (HR. Tirmidzi 2/474, Ahmad 6/30, An Nasa’i 1128, dan Al Hakim menshahihkannya dan disepakati oleh Dzahabi)
Tidak ada hadits yang shahih tentang doa sujud tilawah kecuali hadits Aisyah (di atas) menurut Sayid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah 1/188, tanpa komentar dari Syaikh Al Albani.
b. Sujud Syukur
Sujud syukur termasuk petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan para shahabatnya ketika mendapatkan nikmat yang baru (nikmat yang sangat besar dari nikmat yang lain) atau ketika tercegah dari musibah/adzab yang besar. Hal ini dijelaskan oleh Ibnul Qayim dalam Zadul Ma’ad 1/270 dan Syaikh Abdurrahman Ali Bassam dalam Taudlihul Ahkam 2/140 dan lain-lain.
Hukum Sujud Syukur
Jumhur ulama berpendapat tentang sunnahnya sujud ini. Hal ini diungkapkan oleh Sayid Sabiq dalam kitabnya Fiqhus Sunnah 1/179 dan Syaikh Al Albani menyetujuinya. Di antara hadits-hadits yang digunakan adalah :
a. Hadits dari Abi Bakrah :
Artinya : “Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam apabila datang kepadanya berita yang menggembirakannya, beliau tersungkur sujud kepada Allah. (HR. Ahmad dalam Musnad-nya 7/20477, Abu Dawud 2774, Tirmidzi, dan Ibnu Majah dalam Al Iqamah, Abdul Qadir Irfan menyatakan bahwa sanadnya shahih. Dihasankan pula oleh Syaikh Al Albani)
b. Hadits :
Artinya : “Bahwasanya Ali radhiallahu ‘anhu menulis (mengirim surat) kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengabarkan tentang masuk Islamnya Hamdan. Ketika membacanya, beliau tersungkur sujud kemudian mengangkat kepalanya seraya berkata : “Keselamatan atas Hamdan, keselamatan atas Hamdan.” (HR. Baihaqi dalam Sunan-nya 2/369 dan Bukhari dalam Al Maghazi 4349. Lihat Al Irwa’ 2/226)
c. Hadits Anas bin Malik :
Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam ketika diberi kabar gembira, beliau sujud syukur. Hadits ini dikeluarkan oleh Ibnu Majah 1392. Pada sanad hadits ini terdapat Ibnu Lahi’ah, dia jelek hapalannya, namun Syaikh Al Albani berkata : “Sanad ini tidak ada masalah karena ada syawahidnya.”
d. Hadits Abdurrahman bin Auf :
Artinya : “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, Jibril Alaihis Salam datang kepadaku dan memberi kabar gembira seraya berkata : “Sesungguhnya Rabbmu berkata kepadamu, ‘barangsiapa membaca shalawat kepadamu, Aku akan memberi shalawat kepadanya. Dan barangsiapa memberi salam kepadamu, Aku akan memberi salam kepadanya.’ “ Maka aku sujud kepada-Nya karena rasa syukur. (HR. Ahmad 1/191, Hakim 1/550, dan Baihaqi 2/371)
Hadits-hadits di atas dikomentari oleh Syaikh Al Albani dan Syaikh Salim Al Hilali sebagai berikut : “Kesimpulannya, tidak diragukan lagi bagi seorang yang berakal untuk menetapkan disyariatkannya sujud syukur setelah dibawakan hadits-hadits ini. Lebih-lebih lagi hal ini telah diamalkan oleh Salafus Shalih radhiallahu ‘anhum.
Di antara atsar-atsar para shahabat adalah :
1. Sujud Ali radhiallahu ‘anhu ketika mendapatkan Dzutsadniyah pada kelompok khawarij. Atsar ini ada pada riwayat Ahmad, Baihaqi, dan Ibnu Abi Syaibah dari beberapa jalan yang mengangkat atsar ini menjadi hasan.
2. Sujud Ka’ab bin Malik karena syukur kepada Allah ketika diberi kabar gembira bahwa Allah menerima taubatnya. Dikeluarkan oleh Bukhari 3/177-182, Muslim 8/106-112, Baihaqi 2/370, 460, dan 9/33-36, dan Ahmad 3/456, 459, 460, 6/378-390.
Menanggapi atsar-atsar ini Syaikh Salim berkata : “Oleh karena itu, seorang yang bijaksana tidak meragukan lagi untuk menyatakan disyariatkannya sujud syukur.
Barangsiapa menyangka bahwa sujud syukur merupakan perkara bid’ah, maka janganlah menengok kepadanya setelah peringatan ini.” (Lihat Bahjatun Nadhirin, jilid 2 halaman 325)
Bagaimana syarat-syarat dilaksanakannya sujud syukur?
Imam Shan’ani menyatakan setelah membawakan hadits-hadits masalah sujud syukur di atas : “Tidak ada pada hadits-hadits tentang hal ini yang menunjukkan adanya syarat wudlu dan sucinya pakaian dan tempat.”
Imam Yahya dan Abu Thayib juga berpendapat demikian. Adapun Abul ‘Abbas, Al Muayyid Billah, An Nakha’i, dan sebagian pengikut Syafi’i berpendapat bahwa syarat sujud syukur adalah seperti disyaratkannya shalat.
Imam Yahya mengatakan pula : “Tidak ada sujud syukur dalam shalat walaupun satu pendapat pun.”
Abu Thayib tidak mensyaratkan menghadap kiblat ketika sujud ini. (Lihat Nailul Authar, juz 3 halaman 106)
Imam Syaukani merajihkan bahwa dalam sujud syukur tidak disyaratkan wudlu, suci pakaian dan tempat, juga tidak disyaratkan adanya takbir dan menghadap kiblat. Wallahu A’lam.
Kesimpulan
Dari keterangan di atas dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Disyariatkannya sujud tilawah dalam shalat dan diluar shalat. Jika diluar shalat, bagi yang mendengar ayat sajdah sujud jika yang membacanya sujud. Sedangkan sujud syukur hanya dilakukan diluar shalat.
2. Hukum sujud tilawah dan sujud syukur adalah sunnah.
3. Sujud tilawah ada pada 15 tempat. Sedangkan sujud syukur dilakukan pada waktu mendapatkan kabar gembira yang besar. Bukan hanya pada setiap mendapatkan kenikmatan saja, karena nikmat Allah itu selalu diberi kepada kita. Juga dilakukan ketika terlepas dari mara bahaya.
4. Sujud tilawah dan sujud syukur boleh dilakukan pada waktu-waktu dilarang shalat.
5. Pada sujud tilawah disunnahkan takbir di dalam atau di luar shalat, sedangkan sujud syukur tidak.
6. Pada sujud tilawah dan sujud syukur tidak disyaratkan berwudlu terlebih dahulu.
Wallahu A’lam.
(Dikutip dari tulisan Al Ustadz Zuhair bin Syarif dalam Majalah SALAFY/Edisi XXIV/1418/1998/AHKAM)
Memahami Nama-Nama Allah Yang Indah
Allah memiliki nama-nama yang sangat mulia dan indah. Kemulian dan keindahan tersebut dari dua segi; dari segi lafadz dan dari segi maknanya. Makna dari nama-nama Allah tersebut menunjukkan akan sifat Allah yang Maha Sempurna.
Sebagaimana Allah tegaskan dalam firman-Nya.
وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى
فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ
سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Dan Allah memiliki nama-nama yang indah,
maka berdo’alah kepadanya dengan nama-nama-Nya tersebut. Dan jauhilah
orang-orang yang menyimpang dalam (memahami) nama-nama-Nya. Mereka akan
dibalasi terhadap apa yang mereka lakukan”.(al a’rof :180)
Pertama : Meyakini bahwa Allah memiliki nama-nama yang sangat mulia lagi indah
Barangsiapa yang tidak meyakini tentang nama-nama Allah, maka orang tersebut tidak beriman kepada Allah secara utuh dan benar. Dan juga tidak beriman dengan isi Al Qur’an secara keselurahan.
Bila kita perhatikan dalam Al Qur’an, Allah berulangkali menyatakan bahwa Allah memiliki nama-nama yang indah. Sebagaimana pada ayat-ayat berikut:
……………
”Katakanlah (Muhammad): serulah Allah atau Ar Rohman, yang mana saja engkau seru, maka sesunggunya Allah itu memiliki nana-nama yang indah”.(al-isra :110)
{اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ لَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى} [طه/8]
”Allah, yang tiada tuhan yang berhak disembah selain Dia, yang memiliki nama-nama yang indah”.
{هُوَ اللَّهُ الْخَالِقُ الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ لَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى} [الحشر/24]
“Dia-lah Allah Maha Pencipta, Maha Membuat lagi Maha Membentuk, yang memiliki nama-nama yang indah”.
Demikian pula begitu banyak ayat-ayat Al Qur’an yang ditutup dengan nama-nama Allah. Dimana makna dari nama Allah tersebut sangat erat hubungannya dengan kandungan konteks ayat itu sendiri.
Kedua : Meyakini bahwa nama-nama Allah adalah milik/untuk Allah itu sendiri
Maka kita disini akan terjawab pembahasan yang sering dilontarkan para ahli kalam, yang mempersoalkan apakah nama itu pemilik nama itu sendiri atau bukan? Maka jawabannya nama bukan sipemilik nama itu sendiri dan bukan pula bukan dia. Akan tetapi untuk/milik sipemilik nama.
Dalam bahasa arab :
هل الاسم هو المسمى أو ليس بالمسمى؟ والجواب ليس هو المسمى ولا هو غير المسمى, بل الاسم للمسمى.
Sebagaiman Allah sebutkan dalam ayat di atas:
{وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى}
“Dan Allah memiliki nama-nama yang indah”.
Ketiga : Meyakini bahwa nama-nama Allah tersebut adalah kalamullah bukan makhluk
Karena Allah sedirilah yang memberi nama diri-Nya, tidak ada seorang pun yang memberi nama untuk Allah.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Rasululllah dalam sebuah do’anya berikut ini:
))أسألك بكل اسم هو لك سميت به نفسك(( رواه أحمد وأبو يعلى وابن حبان وغيرهم, وصححه الشيخ الألباني في “الصحيحة”.
”Aku bermohon dengan segala nama yang Engkau miliki, yang Engkau beri nama denganya diri-Mu,”.
Keempat : Meyakini bahwa nama-nama Allah tersebut menggandung makna yang sangat sempurna yang disebut sifat
Orang yang tidak meyakini tentang sifat yang terkandung dalam nama-nama Allah berarti ia telah melakukan penyimpangan dalam beriman kepada Allah. Karena keindahan nama Allah tidak pada lafadznya semata, tetapi termasuk makna yang ditunjukkan atau terkandung dalam lafadz tersebut.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
{وَهُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيم}
“Dan Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.(Q.s.Al Ahqaf:8)
Dalam ayat yang lain Allah berfirman :
{وَرَبُّكَ الْغَفُورُ ذُو الرَّحْمَةِ}
“Dan Rabbmulah Yang Maha Pengampun lagi mempunyai rahmat” (Q.s.Al-Kahfi:58)
Ayat yang kedua ini menjelaskan bahwa nama Allah ” الرحيم ” bukan hanya sekedar nama, akan tetapi itu adalah nama yang mengandung sifat rahmat. Hal ini tampak jelas pada lafadz yang digunakan yakni ” ذو الرحمة ” (yang mempunyai rahmat).
Kelima : Berdo’a dan beribadah kepada Allah dengan nama-nama Allah tersebut.
Untuk mencapai kesempurnaan dalam beribadah kepada Allah adalah dengan memahami makna dari nama-mana Allah tersebut. Bahkan ilmu ini adalah ilmu yang sangat agung untuk dipelajari. Sehingga dalam beribadah kepada Allah benar-benar kita seakan melihat Allah. Sekaligus menimbulkan nilai khusyu’ dalam beribadah, karena saat beribadah seolah-olah kita melihat Allah. Atau kita merasa sedang dilihat Allah.
Setelah memperhatikan hal yang tersebut di atas semakin jelaslah bagi kita betapa pentingnnya untuk menjelaskan dan mempelajari makna dari nama-nama Allah tersebut. Nabi kita Muhammad telah menganjurkan pula dalam sabdanya:
عن أبي هريرة أن رسول الله قال (( إن لله تسعة وتسعين اسما مائة إلا واحدا من أحصاها دخل الجنة )). [متفق عليه].
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah memiliki senbilan puluh senbilan nama, seratus kecuali satu, barangsiapa yang menghafalnya akan masuk surga”. (HR. Buhkary & Muslim).
Kata-kata menghafalnya dijelaskan oleh para ulama, memiliki beberapa tingkatan;
1. Menghafalnya dengan lisan.
Artinya kita menghafal sebanyak sembilan puluh sembilan dari nama-nama Allah yang terdapat dalam Al Qur’an maupun Sunnah.
2. Memahami makna yang terkandung dalam nama-mana Allah tersebut.
3. Mengaplikasikan makna tersebut dalam do’a dan ibadah kita. Atau dengan kata lain menghafalnya dalam bentuk amalan .
Keenam : Nama-nama Allah tidak diketahui batasan jumlahnya.
Hadits di atas tidaklah menunjukkan tentang batasan jumlah keseluruhan nama-nama Allah, tetapi membatasi tentang jumlah untuk memperoleh janjian yang terdapat dalam hadits tersebut yaitu masuk surga.
Karena dijelaskan dalam hadist lain bahwa jumlah keseluruhan nama Allah tidak dapat diketahui sekalipun oleh nabi Muhammad .
Sebagaimana yang terdapat dalam do’a Rasulullah :
((أسألك بكل اسم هو لك سميت به نفسك أو علمته أحدا من خلقك أو أنزلته في كتابك أو استأثرت به في علم الغيب عندك)) رواه أحمد وغيره.
”Aku bermohon dengan segala nama yang Engkau miliki, yang Engkau beri nama denganya diri-Mu, atau Engkau beritahu akannya salah seorang dari makhluk-Mu, atau Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau Engkau simpan di sisi-Mu di alam ghaib”. (HR. Ahmad dll, hadits ini dishahihkan oleh Ibnul Qoyyim & Syeikh Albany) .
Dalam hadits ini menyebutkan tiga bagian dari nama-nama Allah;
Bagian pertama : nama yang Allah beritahu sebahagian dari makhluk-Nya, baik dari kalangan malaikat atau lainnya, tetapi tidak diturunkan dalam kitab suci Allah.
Bagian kedua : nama yang Allah turunkan dalam kitab suci-Nya.
Bagian ketiga: nama yang Allah sembunyikan di sisi-Nya di alam ghaib.
Maka nama-nama Allah yang dapat kita ketahui hanyalah yang terdapat dalam kitab Al Qur’an dan hadits-hadits yang shahih. Menurut pendapat ulama yang telah melakukan penelitian dalam hal ini menyatakan bahwa nama-nama Allah yang terdapat dalam Al Qur’an dan hadits-hadits shohih lebih jumlahnya dari sembilan puluh sembilan .
Lalu bagaimana memahami kedua hadits diatas? Kedua hadits tersebut tidak saling bertentangan. Karena hal tersebut bisa dipahami dalam contoh berikut. Jika seseorang mengatakan: saya memiliki sembilan puluh sembilan ribu untuk saya infaqkan. Tentu tidak akan dipahami bahwa ia tidak memiliki uang yang lain. Boleh jadi ia memiliki uang dua ratus ribu, tapi yang diinfaqkannya berjumlah sembilan puluh sembilan ribu rupiah. Dengan demikian kedua hadits tersebut sangat mudah untuk digabungkan pemahamannya. Yang penting hafal sembilan puluh sembilan nama Allah sebagai tebusan untuk mendapatkan surga. Nama-nama yang dihafal mungkin saja berbeda lafazhnya (konteknya) tetapi jumlahnya sama. Karena nama-nama Allah lebih dari sembilan puluh sembilan.
Ketujuh : Kesamaan dalam nama tidak mesti sama pula dalam bentuk dan hakikat.
Walaupun ada kesamaan nama dari segi lafaz antara nama makhluk dengan nama Allah, tetapi hakikat makna dari masing-masing nama tersebut sangat jauh berbeda sebagaimana perbedaan antara Allah itu sendiri dengan makhluk-Nya. Kesamaan disini hanya dalam bentuk nama atau lafaz kata saja tidak dalam segi makna secara keseluruhan. Sekalipun ada kesamaan dalam bentuk lafaz atau nama, namun dalam segi hakikat makna dari lafaz dan nama tersebut secara keseluruhan tidak sama.
Sebagaimana diantara nama Allah (Al Hayyu) yang artinya bersifat hidup, demikian pula makhluk juga bersifat hidup, tetapi hidup Allah tidak sama dengan hidup makhluk. Hidup Allah tidak butuh pada makan dan minum adapun hidup makhluk butuh makan dan minum serta memiliki berbagai kekurangan seperti sakit, capek, letih, haus, lapar dan seterusnya.. Hidup Allah tidak diawali dengan ketiadaan (‘adam) dan tidak pula diakhiri dengan kematian (al fanaa’). Adapun hidup makhluk diawali dengan ketiadaan dan diakhiri oleh kematian.
Sebagaimana terdapat dalam sabda Rasulullah :
عن ابن عباس أن النبي كان يقول: (( أعوذ بعزتك الذي لا إله إلا أنت الذي لا يموت والجن والإنس يموتون)) متفق عليه.
Diriwayatkan Ibnu Abbas bahwa Nabi berdo’a: “Aku berlindung dengan keperkasaan Engkau. Yang tiada berhak disembah kecuali Engkau, Zat yang tidak akan pernah mati. Sedangkan jin dan manusia akan mati”. (HR. Bukhary & Muslim).
Dalam sabda yang lain beliau katakan:
(اللَّهُمَّ أَنْتَ الْأَوَّلُ فَلَيْسَ قَبْلَكَ شَيْءٌ وَأَنْتَ الْآخِرُ فَلَيْسَ بَعْدَكَ شَيْءٌ) رواه مسلم.
“Ya Allah Engkaulah Yang pertma Tiada sesuatupun sebelum Engkau. Dan Engkalah yang terakhir tiada sesuatupun setelah Engkau. (HR. Muslim).
Hidup Allah sangat sempurna dari segala segi, adapun hidup makhluk penuh dengan berbagai kekurangan.
Allah adalah Zat Yang Maha Hidup Sempurna, sebagaimana Allah katakan dalam firman-Nya yang artinya:
“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Maha Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak pernah ditimpa rasa ngantuk dan tidak pula tidur”.
Demikianlah kita mengimani seluruh sifat-sifat Allah yang terkandung dalam nama-nama Allah yang mulia. Kita tidak boleh menyerupakan sifat-sifat Allah yang terkandung dalam nama-nama-Nya mulia dengan sifat-sifat makhluk meskipun nama Allah ada kesamaan dari segi lafatz nama. Sebaliknya kita juga tidak boleh mengingkari nama dan sifat-sifat Allah, yang Allah tetapkan untuk diri-Nya atau ditetapkan oleh Rasulullah dalam hadits-hadits beliau, meskipun nama atau sifat tersebut terdapat pada makhluk.
Dengan berlandaskan pada perkataan Allah yang artinya:
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia (Allah), dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Maha Melihat”.
Dalam ayat diatas ditegaskan bahwa tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Allah. Sebahagian orang memahami ayat tersebut bahwa Allah tidak memilki sifat-sifat lantaran ada kesamaan dalam penamaan dengan sifat-sifat makhluk. Anggapan tersebut bertentangan dengan penggalan akhir dari ayat tersebut. Dimana Allah menyatakan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat, sedangkan manusia juga mendengar dan melihat sebagaimana Allah katakan dalan firman Alloh yang artinya:
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur, Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), maka Kami jadikan dia mendengar dan melihat”.
Dari sini dapat kita pahami bahwa Allah memilki sifat-sifat sempurna sekalipun sifat-sifat tersebut terdapat pada sebahagian mahkluk namun maknanya tidak sama dengan kwalitas makna sifat-sifat Allah. Kalau seandainya yang dimaksud dalam ayat yang lalu menafikan sifat tentu konteknya tidak sebagaimana tersebut di atas. Pasti langsung Allah nafikan bahwa Dia tidak memiliki sifat. Jadi yang dinafikan adalah kesamaan hakikat dari makna sifat bukan sifat. Sekalipun dalam penamaan sifat tersebut ada kesamaan dengan sifat makhluk.
Hal ini dapat terima oleh akal, fakta dan agama. Bahwa sesuatu yang sama dalam penyebutan nama namun kwalitas dan kwantitas bisa berbeda. Dalam kehidupan kita sehari-hari banyak sekali sama nama namun berbeda bentuk dan kwalitasnya.
Sebagai contoh manusia memiliki sifat melihat, kucing pun memiliki sifat melihat. Tapi penglihatan manusia dengan penglihatan kucing tidak sama. Sebab manusia tidak bisa melihat pada waktu malam tanpa cahaya. Adapun kucing bisa berjalan di malam hari meskipun tanpa cahaya. Jika sifat sesama makhluk saja tidak sama dalam hakikat kwalitas makna, sekalipun sama dalam segi penamaan yaitu penglihatan. Maka kepastian perbedaan antara sifat Allah Yang Maha Sempurna dengan sifat makhluk jauh lebih pasti, meskipun sama dari segi lafaz nama. Yang membedakan makna adalah kemana sifat tersebut disandarkan, maka sifat tersebut memiliki makna dan bentuk sesuai dengat zat dimana ia disandarkan (digabungkan). Maka jangan dipahami ketika menyebut tetang sifat Allah digambarkan seperti sifat makhluk. Sebagaimana kita tidak memahami tentang sifat akan berbeda sesuai dengan zat masing-masing sifat tersebut. Bahkan pada zat yang sama sifat bisa berbeda. Seperti sifat pendengaran manusian tidak sama antara satu dengan yang lainnya. Ada yang dapat mendengar dengan jarak cukup jauh sebaliknya ada yang tidak bisa mendengar kecuali dengan alat bantu, namanya tetap disebut pendengaran. Bahkan sifat bisa berubah-rubah kwalitas dan frekuwensinya pada satu zat, ketika seseorang berumur lima tahun pendengarannya tidak sama ketika telah berumur lima puluh tahun.
Demikianlah halnya dalam mengimani segala sifat-sifat Allah yang terdapat dalam Al Qur’an dan hadits-hadits yang shahih, dimana Allah memiliki sifat-sifat yang sempurna sesuai dengan kegunganNya. Kita memahami bahwa adanya perbedaan antara sifat yang disandarkan kepada Allah dengan sifat yang disandarkan kepada makhluk meskipun ada kesamaan dalam segi lafaz penamaannya.
Kedelapan : Mengetahui penyimpangan-penyimpangan (إلحاد) yang terjadi di dalam memahami nama-nama Allah, agar tidak terjatuh di dalamnya.
Penyimpangan yang terjadi dalam memahami nama-nama Allah ada beberapa macam, yaitu :
1. Menamai patung-patung berhala dengan nama-nama yang diambil dari nama-nama Allah, seperti perbuatan orang-orang musyrikiin yang memberi nama patung mereka dengan Al Lata ( اللات ) yang berasal dari nama Allah Al-Ilah ( الإله ), begitu juga Al ‘Uzza bersal dari nama Allah Al ‘Aziz
( العزيز).
Ini adalah suatu penyimpangan yang nyata, karena meraka memalingkan nama-nama Allah untuk nama sesembahan palsu mereka.
2. Menamai Allah dengan nama-nama yang tidak pantas bagiNya, seperti yang dilakukan oleh orang-orang nashrani yang menyebutNya dengan nama “Tuhan Bapak”, dan nama-nama lainnya yang tidak pantas untuk diberikan kepada Alllah.
3. Mensifati Allah dengan sifat-sifat yang hina dan tercela yang Allah tersucikan dari sifat-sifat tersebut, Seperti perkataan orang-orang yahudi yang hina bahwasanya Allah itu fakir, mereka juga mengatakan bahwa Allah beristirahat setelah menciptakan makhluknya, dan perkataan mereka pula bahwa tangan Allah terbelenggu, dan perkataan-perkataan hina lainnya yang merupakan tindakan penyimpangan terhadap nama-nama Allah.
4. Mengingkari sifat-sifat yang terkandung di dalam nama-nama Allah, Seperti yang dilakukan kelompok Jahmiyyah yang mengatakan bahwa nama-nama Allah hanyalah sebuah nama dan tidak terkandung di dalamnya sifat-sifat. Oleh sebab itu mereka menetepkan bahwa Allah mempunyai nama (الحي ) yang maha hidup, tapi tidak ada kehidupan bagiNya, ( السميع ) yang maha mendengar tapi tidak ada pendengaran bagiNya, ( البصير ) maha melihat, tapi tidak ada penglihatan bagiNya, dan seterusnya.
Maka ini adalah termasuk penyimpangan nama-nama Allah yang paling besar menurut tinjauan akal, syariat, bahasa, dan fitrah. Maka apa yang mereka lakukan ini merupakan bentuk penyimpangan terhadap nama-nama Allah seperti yang dilakukan orang-orang musyrikin hanya yang berbeda adalah kalau orang-orang musyrikiin memberikan nama-nama Allah untuk patung-patung mereka, adapun orang jahmiyyah mereka mengingkari sifat-sifat yang dikandung nama-nama Allah, dan memalingkannya dari makna sesungguhnya.
Adapun orang-orang Jahmiyyah dan yang mengikuti pemikiran mereka, maka penyimpangan mereka bertingkat-tingkat, sebagian mereka ada yang ghuluw di dalam kesesatannya, sebagian lain mutawasithun ( pertengahan ), sebagian yang lain lebih ringan kesesatannya, namun semuanya itu tetaplah merupakan penyimpangan yang sesat, karena barang siapa yang mengingkari apa-apa yang telah Allah sifatkan untuk dirinya dan yang disifati oleh RasulNya untukNya adalah sebuah ilhad ( penyimpangan ) meskipun penyimpangannya itu banyak atau sedikit.
5. Penyimpangan kelompok Musyabbihah yang menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhluknya -maha suci Allah dari apa yang mereka katakan-. Penyelewengan mereka ini merupakan lawan dari penyelewengan kelompok jahmiyyah yang mengingkari sifat-sifat Allah, mereka menetapkan sifat-sifat bagi Allah namun menyerupakannya dengan sifat makhluknya, namun keduanya adalah bentuk penyimpangan terhadap nama-nama Allah walaupun berbeda caranya.
Adapun pengikut Rasulullah-shalallahu ‘alaihi wa sallam- dan para pewarisnya serta orang-orang yang berpegang teguh di atas sunnahnya mereka berlepas diri dari apa-apa yang dilakukan oleh orang-orang yang menyimpang. Mereka tidak mensifati Allah kecuali dengan apa-apa yang telah Allah sifati untuk diriNya, dan juga yang telah disifati oleh RasulNya-shalallahu ‘alaihi wa sallam-. Mereka tidak mengingkari satu sifat pun dan tidak pula memalingkannya dari makna yang sebenarnya, dan tidak pula menyerupakan sifatNya dengan sifat makhlukNya. Maka penetapan mereka terhadap sifat-sifat Allah terhindar dan bebas dari menyerupakannya dengan sifat makhlukNya, dan pensucian mereka pada sifat-sifat Allah bebas dari pengingkaran kepadanya, tidak seperti orang-orang yang menyerupakan Allah dengan makhluknya sampai seakan-akan mereka menyembah sebuah patung, dan tidak pula seperti orang yang mengingkari sifat Allah sampai seakan-akan mereka menyembah sesuatu yang tidak ada.
Demikianlah pembahasan kita kali ini, semoga Allah memberi petunjuk kepada kita semua sehingga kita dapat memahai nama-namaNya dengan benar dan terhindar dari penyimpangan orang-orang yang menyimpang. Wallahu a’lam.
[ DR. Ali Musri Semjan Putra, M.A. ]
Subscribe to:
Posts (Atom)