Friday, 11 December 2015

ImpikanPerubahan, Komunitas Santri Dirikan Rumah Baca


Rumah Baca Gensix adalah Rumah Baca yang didirikan oleh komunitas alumni santri Pondok Pesantren Islamic Centre Binbaz, Yogyakarta yang lulus pada tahun 2011. Pendirian rumah baca ini sebagai sarana dakwah dan silaturahmi antara anggota sendiri. Dinamai Gensix, karena mereka adalah Generasi keenam Islamic Centre Bin Baz.
Rumah Baca Gensix merupakan wadah edukasi non formal dan non profit yang berdiri secara independen, tidak berada di bawah instansi atau lembaga manapun. Rumah baca ini resmi dibuka pada Ahad, 8 maret 2015. Bertempat di Jl. Wonosari km 10, RT, 05, RW.20, DusunKaranggayam, DesaSitimulyo, KecamatanPiyungan, KabupatenBantul, Yogyakarta.
“Secara umum  yang kita harapkan dari Rumah Baca ini adalah kesadaran belajar. Kesadaran iqro (baca) itu ada di tengah masyarakat. Karena, kitatahu gerakan yang merubah arah jarum jam dalam panggung peradaban manusia itu kan gerakan Iqro. Gerakan membaca dan gerakan mempelajari,” ujar Muhammad kepada Majalah Qotrunnada belum lama ini.
Rumah baca ini menyediakan beragam buku untuk anak usia dini, remaja, dewasa dan orang tua. Baik itu bahasan agama atau umum. Ada juga majalah-majalah dan buletin. Selain itu, komunitas ini pun menyediakan aula baca dan mempersilahkan masyarakat sekitar dan siapa saja yang hendak membaca untuk datang ke Rumah Baca.
Selain menyediakan perpustakaan, Rumah Baca Gensix juga membuka program Bimbingan Belajar  dan Program SLB (Serikat Lulus Bersama). Bimbingan belajar terdiri dari beberapa mata pelajaran. Seperti, Agama, Matematika, dan Bahasa Inggris untuk anak-anak PAUD, TK, dan SD. Sementara SLB mempersiapkan siswa dan siswi kela senam dalam menghadapi Ujian Nasional dengan mendatangkan pengajar berkompeten dibidangnya.
Dalam waktu dekat ini, tepatnya pada tanggal 24 Mei 2015 Rumah Baca Gensix akan mengadakan Pagelaran Akbar Festival Anak Al-Aqsha. Acara ini merupakan kerjasama dengan Sahabat Al-Aqsha. Acara bertema AL Aqsha ini dibuka untuk umum dengan menghadirkan pendongeng tingkat Nasional, Kak Bimo sebagai pembiacara utama. Selain itu, ada serangkaian lomba. Seperti, lomba mewarnai, menggambar, delemasi puisi, dan Cerdas Anak Sholeh.

 “Dengan acara ini, kami berharap dapat menumbuhkan minat baca, memantik semangat mereka untuk tahu, tahu, dan tahu. Kemudian, kedepannya mereka menjadi insan yang berguna bagi dirinya, keluarga, dan seterusnya,” ujar Muhammad. (Kiki) 

Pesan Sejarah: Bacalah dan Bangunlah!


Dalam sejarah imprealisme Barat, mereka tidak hanya menjajah tanah air penduduk, melainkan juga pola pikir manusia di dalamnya.
Penulis buku sejarah, Ahmad Mansur Suryanegara dalam Api Sejarah Jilid Kesatu menulis, “Dengan kata lain, penjajah Barat dalam upaya penaklukan kembali – reconquista terhadap islam, tidak hanya menjajah wilayah jajahan. Melainkan juga mencoba menjajah pola pikir rakyat jajahan dengan cara mendistrosikan penulisan sejarah.  Menurut Anthony Smith dalam Geopolitics Of Information, selain melakukan distorsi penulisan sejarah juga dalam masalah berita pun, Barat melancarkan news imperialisme – penjajahan berita.”
Pada pertengahan 2013 silam, saat itu di Kairo, saya teringat pertanyaan seorang guru. Beliau bertanya kepada kami, berapa lamanya Bangsa Indonesia dijajah?  Kami menjawab 350 tahun bangsa Indonesia dijajah. Beliau bertanya lagi, berapa lama perlawanan bersenjata berlangsung? Tidak lebih dari 10 tahun terakhir.
“Ratusan tahun sebelum itu, apa yang dilakukan oleh Bangsa Indonesia? Mereka tidak sadar sedang dijajah!,”  begitu ujarnya. Para pelopor perjuangan ketika itu membutuhkan waktu hingga ratusan tahun lamanya melakukan gerakan penyadaran tersebut di bumi Nusantara.
Gerakan Penyadaran dengan Membaca
Gerakan penyadaran. Itulah yang dilakukan oleh Guru Besar Bangsa, Raja Djawa Tanpa Mahkota, Kyai Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Ia merangkul seluruh eleman masyarakat dengan jargon, hidup yang utama. Tidak ada seperempat manusia yang kemudian dengan CSI (Central Serikat Islam) -1916, yang dia dirikan itu melakukan gerakan penyadaran melalui pendidikan.
Membaca adalah gerakan untuk menyadarkan rakyat.  Siapa sejatinya mereka, apa yang terjadi pada mereka dan bagaimana mereka mestinya bersikap dalam hidup dan kehidupannya.
Serikat Islam mencetuskan Ide Pemerintah Sendiri (Lepas dari cengkraman penjajah barat dan timur), – Zelf bestuur, 1916 M – Api Sejarah, Ahmad Mansur. Kemudian pada 1945 diproklamirkan kemerdekaan Indonesia oleh murid sekaligus menantu beliau sendiri, Soekarno.
Awal Kebangkitan Islam adalah Iqro’
Goresan tinta sejarah begitu detail mengabadikan perubahan besar yang dilakukan oleh kekuatan baru bernama Islam. Di saat bangsa Bizantium Romawi dan Persia sebagai dua kekuatan adidaya dunia kala itu telah melenceng jauh dari Tuhan. Tidak lagi menuhankan Tuhan, tidak pula memanusiakan manusia, mengekor pada hawa nafsu, melakukan kerusakan di atas muka bumi lagi melampui batas.
Kemudian Allah utuslah seorang anak terbaik dari keturunan terbaik, Baginda Nabi Muhammad Shollallahu alaihi wasallam- dengan gerakan Iqro’ nya, yakni gerakan membaca.
Gerakan membaca merupakan sebuah penyadaran manusia akan hakekat siapa Tuhan mereka. Siapa diri mereka dan hakikat segala yang ada di sekitar mereka yaitu alam semesta besrta isinya ini.
Allah Firmankan dalam Al Quran sebagai ayat pertama yang diwahyukan, Iqro’, Bacalah. Kita mendapati kalimat berikutnya adalah “Bismi Robbikal Ladzi Kholaq,” dengan menyebut nama Tuhan mu yang telah menciptakan kamu.
Maka di dalam Islam, semua yang kita baca, semua yang kita pelajari, semua yang kita telaah dan kaji dalam cabang keilmuan manapun itu seyogyanya kita kembalikan kepada Allah. Artinya, seluruh keilmuan itu adalah untk mendekatkan diri kita kepada Allah.
Maka, demikian lah pada setiap zaman sejarah selalu mengulangi alurnya. Gerakan penistaan manusia diawali dengan pembodohan. Sebaliknya gerakan kemuliaan, membangkitkan manusia dari tidur panjangnya dalam lumpur nestapa, adalah dengan mencerdaskan. Dengan belajar. Sejarah berpesan; Bacalah, dan Bangunlah! (Kiki)
Artikel ini telah dimuat sebelumnya di Hidayatullah.com (Senin, 20 April 2015) dengan sedikit perubahan.



Perjalanan Imam Syafi’i Menuntut Ilmu


Pernahkah merasa sebal dengan tugas yang begitu banyak, buku yang tertumpuk untuk dibaca, ditambah ujian yang sudah di depan mata? Rasanya ingin mengeluh tiada henti. Bahkan, sering kita mengutuk guru yang memberikan kita banyak tugas.
Belajar kemudian menjadi hal yang membosankan dan kemudian dihindari. Bukan lagi menjadi sesuatu yang asyik dan kita butuhkan. Sepanjang belajar, kita lebih sibuk mengomel. Akankah ilmu yang kita pelajari tertanam di hati?
Jika pernah merasa lelah belajar, simaklah nasehat emas dari Imam Syafi’i, Jika kamu tidak kuat menanggung lelahnya belajar, maka kamu akan menanggung perihnya kebodohan. Kata-kata ini bisa menambah semangatmu untuk terus belajar ketika sedang merasa bosan dengan tugas-tugas di sekolah.
Lantas, bagaimana kisah perjalanan Imam Syafi’i dalam menuntut ilmu?
Imam Syafi’i berkeliling dari satu daerah ke daerah lainnya. Berpindah dari satu kota ke kota lainnya, belajar dari bnayak guru. Sehingga, dengan ilmu-ilmu yang ia peajari ditambah sikap dan sifat kerendahan diri beliau, ia  menjadi seorang imam madzhab besar yang banyak dianut di negara-negara Asia Tenggara, khususnya Indonesia.
Sebelum Imam Syafi’i melakukan perjalanan untuk menuntut ilmu kepada Imam Malik, ia melalkukan persiapan terlebih dahulu dengan menghafal Kitab al-Muwaththa.
Imam Syafi’i mengisahkan kisah perginya kepada Imam Malik:
Aku keluar dari Mekkah, kemudian tinggal bersama suku Hudzail di pedalaman. Di sana aku mempelajari bahasa mereka. Suku Hudzail ini adalah bangsa arab yang paling fasih.
Ketika aku kembali ke Mekkah, aku mulai mendendangkan syair dan menyebutkan sejarah orang-orang dulu. Kemudian, seorang dari kaum Zuhriy berkata kepadaku: : “Wahai Abu Abdillah (sebutan Imam Syafi’i), sungguh aku rasa berat kefasihanmu dan balaghahmu ini tidak diletakkan dalam ilmu dan fiqih.” Maka aku bertanya: “Siapakah orang yang nisa menjadi tujuan (untuk hal itu)?” Dia menjawab: “Malik bin Anas, sayyid kaum muslimin.”
Hal itu menancap di dalam hatiku. Kemudian, aku meminjam kitab al-Muwaththa’ dari seseorang di Mekkah dan aku menghafalnya. Aku juga menemui Gubernur Mekkah dan meminta surat rekomendasinya yang ditujukan kepada Gubernur Madinah dan Malik bin Anas.
Singkat cerita, aku bersama Gubernur Madinnah mendatangi rumah Imam Malik. Ketika Imam Malik keluar, Gubernur Madinah menyerahkan surat kepadanya. Imam Malik melempar surat ini dari tangannya dan berkata: “Ya Subhanallah! Ilmu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sekarang diambil dengan wasilah.”
Kemudian aku maju kepada Imam Malik dan berkata: “Semoga Allah memperbaiki keadaanmu. Aku ini seorang turunan Mutththalib dengan keadaan dan kisahku.” Ketika Imam Malik mendengar ucapanku, dia melihatku sesaat, ia berkata: “Bertakwalah kepada Allah dan jauhilah kemaksiatan. Sungguh engkau nanti akan mempunyai urusan yang besar.” Aku menjawab: ‘Ya. Dengan penuh pemuliaan.”
Kemudian Imam Malik berkata: “Besok engkau datang dan akan ada orang yang membacakan al-Muwaththa’ kepadamu.” Aku menjawab bahwa telah menghafalnya di luar kepala.
Keesokan paginya, aku datang kepada Imam Malik dan mulai membacakan al-Muwaththa’ kepadanya. Setiap aku merasa segan kepada Imam Malik dan ingin memutusnya, dia merasa kagum dengan bacaanku dan i’rabku, dia berkata: ‘Hai, pemuda, teruslah! Agar engkau bisa menyelesaikan bacaannya dalam beberapa hari.’" Imam Syafi’i terus belajar hingga dirinya menjadi Imam Besar.
Mari kita renungkan. Apakah dalam bayangan kita, masa muda Imam Syafi’i hanya berdiam diri di rumah merenungkan nasibnya sebagai seorang yatim? Apabila semasa hidup beliau, ia hanya duduk nongkrong bersama teman teman sebayanya, apakah ia akan menjadi  imam besar?  Apabila Imam Syafi’i semasa mudanya hanya memainkan gadget serta  media sosial akankah terlahir seorang imam besar yang namanya selalu kita kenang dan ilmunya selalu kita cari untuk kita jadikan rujukan dalam beragama?
Tentu jawaban dari semua jawaban di atas ada pada diri kita masing-masing, sebagai seorang remaja  yang jelas berbeda zaman. Rintangan serta hambatan dalam masa muda, Iamm Syafi’i tetap bergerak dalam mencari ilmu. Karena, orang yang berilmu dan beradab tidak akan pernah berdiam diri untuk beristirahat di kampung halaman. Mereka akan meninggalkan negerinya untuk hidup di negeri orang asing.
Air menjadi rusak karena diam tertahan adapun jika mengalir air tersebut akan menjadi jernih dan jika tidak mengalir akan menjadi keruh. Begitupun dengan kita sekarang,  sebagai seorang pemuda yanga akan menajdi nasib perubahan seorang bangsa dan peradaban. (Shidiq)


Referensi:
·         Hasyiyah ‘ala Al Qoul Al Mukhtar fii Syarh Ghoyatil Ikhtishor, Sa’aduddin bin Muhammad Al Kubiy, terbitan Maktabah Al Ma’arif Riyadh, cetakan pertama, 1432 H.
·         Al-Manaqib karya al-Baihaqi 1/102-103,
·         karya ar-Razi 9-10, dan ringkasannya di al-Hilyah 9/69, serta Tawali at-Ta’sis 53-56
·         Siyar A'laam An-Nubalaa 10/5-6
·         Tobaqoot Asy-Syaafi'iyah Al-Kubro 2/71-72)


Sabar Menghadapi Pemimpin Zhalim


            Setiap muslim adalah pemimpin. Setidaknya, ia menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri. Ajaran Islam secara tegas menyatakan, kepemimpinan adalah sesuatu yang tidak boleh diabaikan dalam pembangunan masyarakat, bangsa dan negara.
            Al- Qur’an telah banyak memberikan gambaran tentang adanya hubungan positif antara pemimpin yang baik dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi, sangat disayangkan akhir-akhir ini sebagian  masyarakat menghadapi ‘kegoncangan’ dalam ketaatan kepada pemimpin.
            Pada edisi kali ini, Qatrunnada berhasil mewawancarai salah seorang staf pengajar Sekolah Tinggi Dirasat Islamiyah (STDI) Imam Syafi’i Jember, Ustadz Sanusin Muhammad Yusuf MA.  Tema yang diangkat yaitu tentang sikap seorang muslim terhadap penguasa di tengah fitnah yang melanda.

Bagaimana seharusnya sikap seorang muslim terhadap pemimpin?
Sikap seorang muslim kepada pemimpin tentunya harus menaati mereka terutama dalam kebaikan. Bahkan, hukmnya wajib sebagaimana disebutkan dalam Al-Kitab dan As-Sunnah. Di antaranya Allah Ta’ala berfirman,
ÙŠَا Ø£َÙŠُّÙ‡َا الَّØ°ِينَ Ø¢َÙ…َÙ†ُوا Ø£َØ·ِيعُوا اللَّÙ‡َ ÙˆَØ£َØ·ِيعُوا الرَّسُولَ ÙˆَØ£ُولِÙŠ الْØ£َÙ…ْرِ Ù…ِÙ†ْÙƒُÙ…ْ
Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.” (QS. An-Nisa’ [4] : 59)
Tapi, bagaimana jika pemimpin kita berbuat zhalim, apakah tetap harus ta’at?
Ya. Kita harus tetap ta’at bahkan bersabar dengan sikap mereka. Imam Ibnu Abil ‘Izz rahimahullah mengatakan, “Hukum mentaati pemimpin adalah wajib, walaupun mereka berbuat zholim (kepada kita). Jika kita keluar dari mentaati mereka maka akan timbul kerusakan yang lebih besar dari kezholiman yang mereka perbuat. Bahkan bersabar terhadap kezholiman mereka dapat melebur dosa-dosa dan akan melipat gandakan pahala. Allah Ta’ala tidak menjadikan mereka berbuat zhalim selain disebabkan karena kerusakan yang ada pada diri kita juga. Oleh karena itu, hendaklah kita bersungguh-sungguh dalam istigfar dan taubat serta berusaha mengoreksi amalan kita.
Berarti, kita sebagai rakyat juga harus bersikap baik?
Ya. Ingatlah, Semakin Baik Rakyat, Semakin Baik Pula Pemimpinnya. Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah mengatakan; “Jika rakyat lurus, maka akan lurus juga penguasa mereka. Jika rakyat adil, maka akan adil pula penguasa mereka. Namun, jika rakyat berbuat zhalim, maka penguasa mereka akan ikut berbuat zhalim. Setiap yang rakyat ambil dari orang-orang lemah maka akan diambil pula oleh pemimpin mereka dari mereka dengan paksaan”. Dengan demikian setiap amal perbuatan rakyat akan tercermin pada amalan penguasa mereka.
Lalu bagaimana seharusnya sikap seorang muslim terhadap pemimpin yang zhalim?

Hendaklah kita selalu mendo’akan pemimpin kita dan bukan mencelanya. Karena, do’a kebaikan kita kepada mereka merupakan sebab mereka menjadi baik. Sehingga, kita juga akan ikut baik. Ingatlah pula bahwa do’a seseorang kepada saudaranya dalam keadaan saudaranya tidak mengetahuinya adalah salah satu do’a yang terkabulkan.

(Fadly Gugul)

Wednesday, 9 December 2015

Baca! Baca! Baca!



Bacalah! 
Karena peradaban gemilang ini dimulai dengan membaca.

Solusinya adalah membaca! Sebelum berbicara masalah moral, kemusyrikan, tauhid dan berbagai bidang yang sangat krusial, Allah mulai dengan perintah membaca. Kuncinya adalah membaca. Bahkan Allah ulang perintah membaca itu sebanyak dua kali. Dari sinilah peradaban islam kembali eksis, setelah sekian lama terpuruk. Rasulullah sebagai komandan tertinggi peradaban islam ketika itu menangkap baik pesan ini, pesan solutif bagi segala persoalan yang dihadapi, perintah membaca!. Kita tahu ketika itu belum ada literatur yang memadai untuk dibaca, bahkan nggak ada buku sama sekali. Kalau begitu tidak relevan dong dengan perintahnya ? Allah hadirkan buku terbaik, buku panduan hidup yang siapapun mau dan serius mempelajarinya dijamin sukses dunia akhirat.

Bermodal membaca ini Rasulullah mengawali peradaban islam dengan misi utama mengajak sebanyak-banyaknya manusia untuk taat dan tunduk pada perintah Allah, bagaimana seisi dunia ini berada dalam hidayah Allah. Segala kerusakan dan kebobrokan moral, ekonomi, pendidikan serta politik, solusinya adalah membaca. Dan sebaik-baik bacaan adalah Al-Quran. Ini konsep nubuwwah, dan dibuktikan langsung oleh Rasulullah. Lihat bagaimana hanya dalam waktu 30 tahun setelah bi’tsah Rasulullah persia tunduk, seperempat dunia tunduk dan patuh kepada Allah dan Rasul-Nya.

Konsep ini dijalani dengan baik oleh generasi hebat, dari era khulafaaurRasyidin, Dinasti Umawiyyah, kemudian Abbasiyyah dan pemerintahan-pemerintahan Qurani setelahnya hingga berakhir pada masa Ottoman Empire. Konsep membaca ini diterapkan pula oleh para Ulama kita, bagaimana mereka menyediakan dan menghadirkan bacaan-bacaan yang mengandung iman dan ilmu. Sejarah menyaksikan bagaimana peradaban islam mempunyai perpustakaan-perpustakaan raksasa yang menampung karya tulis para Ulama kita. Ada perpustakaan Baghdad, yang ditenggelamkan oleh pasukan Tatar di sungai Dajlah. Kita juga punya perpustakaan besar di Qordoba yang menghimpun setengah juta kitab, padahal belum ada percetakan saat itu. Masih ada lagi, kita masih punya perpustakaan Umawiyyah dan Daar al-Hikmah di Kairo.

Beginilah kesaksian sejarah membuktikan kedahsyatan konsep membaca ini -membaca Al-Quran-Assunnah dan literatur yang benar tentunya, mampu merubah wajah peradaban menjadi islami. Kita-pun sama, sekarang kita hidup di masa jahiliyyah berwajah modern dan problem terbesar yang sedang kita hadapi adalah problem ilmu, dan obat mujarabnya adalah membaca. Sekali lagi jika kita sebut kata membaca, maka yang dimaksud disini adalah makna membaca secara luas dan konperehensif, mencakup segala aspek. Termasuk didalamnya adalah memahami, menelaah hingga mengilmui.

Berbicara masalah peradaban, kita perlu berkaca kepada sejarah, kita tengok siapa saja yang ikut andil dalam reformasi peradaban islam ini, maka kita akan temukan bahwa peradaban ini di kelilingi oleh anak-anak muda!. Al-Quran sendiri yang menjadi saksi. Berapa usia Ibrahim ketika menghancurkan berhala-berhala kaumnya ? Usia pemuda! Siapa yang menemani nabi Musa bertemu nabi Khidir ? Anak Muda! Ashabul Kahfi, siapa saja mereka ? Lagi-lagi anak-anak muda!

Begitu pula dakwah Rasulullah pun dikelilingi anak-anak muda. Kita semua tahu sepuluh sahabat yang dijamin masuk surga, tapi mungkin kita belum tahu kalau lima diantara mereka adalah anak-anak muda. Bahkan Dr. Munir Al-Ghadban dalam bukunya “Syabab Fil Ahdi an-Nabawy (Pemuda di Zaman Nabi) memasukkan Umar bin Khattab dalam barisan pemuda. Lebih dahsyat lagi, ternyata yang berperan aktif dalam membuka kota Madinah adalah pemuda!

Sebagai penutup, penulis berpesan kepada seluruh pemuda nusantara, “Bacalah, karena peradaban gemilang ini dimulai dengan membaca.” (Faris)

*Referensi
-ArRahiqul Mahtum (Al-Mubarakfuri)
-Baina At-Tarikh wal Waqi’ (Dr. Raghib As-sirjani)
-Dirasah lisuquti 30 daulah al-islamiyyah (Dr. Abdul Halim Uwais)

About Us



Berawal dari keinginan untuk berkontribusi dalam dakwah Islam, kami Angkatan ke-enam dari Islamic Centre Bin Baz membentuk Buletin yang bernama Qotrunnada. Qotrunnada terbit untuk pertama kali pada tahun 2008 di mana pada saat itu kami sedang duduk di kelas 2 MA Islamic Centre Bin Baz. 
 
Qotrunnada sempat vakum beberapa tahun dan mulai terbit kembali pada tahun 2014. Pada tahun inilah tim Qotrunnada ingin merutinkan penerbitkan buletin Qotrunnada. Kelebian dari buletin Qotrunnada ini adalah dibagikan secara gratis kepada masyarakat (sesuai dengan segmentasi media). 


Seiring pesatnya perkembangan dunia internet, tahun ini kami pun mulai merambah dan mengaktifkan kembali blog ini. Tujuannya, untuk memudahkan pembaca untuk mencari informasi keislaman yang dibahas secara menarik.


SUSUNAN REDAKSI

Pemimpin Umum  : Shidiq Alhakim 

Pemimpin Redaksi : Zulfa Zahira
Tim Redaksi :
  • Fadli Gugul
  • Fahmi
  • Faris Irfanuddin
  • Muhammad Rizki Utama
  • Zaki Abdul Qodir
  • Annisa Mulia Khan
  • Rafika Fahma
Layout: Usamah Abdurrahman

Sirkulasi:
  • Yogyakarta: Laily Jamelia Farhah, Furqon Hidayat, Haidar, Faqih, Ihsan, Kholis
  • Jabodetabek: Riza Islamy, Sendika, Hasan
  • Bandung: Arini Nurul Qisthi